J.C. Princen (tanda X) SERBA SEPUH – Selamat datang doeloer. Kisah berikut ini fakta sejarah yang saya reposting dai akun Samuel Tir...

Kisah JC Princen Sedadu Belanda Yang Membelot

J.C. Princen (tanda X)

SERBA SEPUH – Selamat datang doeloer. Kisah berikut ini fakta sejarah yang saya reposting dai akun Samuel Tirta yang mengiahkan seorang serdadu muda Belanda yang mengikuti kata hatinya dan bergabung dengan para gerilyawan Siliwangi untuk memerangi bangsanya.

JAKARTA 71 TAHUN YANG LALU. Hujan besar mengguyur Pelabuhan Tanjung Priok, saat Kapal Laut MS. Sloterdijk dari Belanda merapat di mulut dermaga. Begitu kapal berhenti, ribuan serdadu muda berseragam hijau lengkap dengan ransel dan senjata, bergegas menuruni tangga kapal. Sebagian diantaranya clingak clinguk memperhatikan suasana di sekitar pelabuhan.


Diantara ribuan serdadu itu, tersebutlah Johanes Cornelis Princen, pemuda 21 tahun asal Den Haag. Sebagai seorang anak muda yang melek politik, Princen sebenarnya sangat sadar bahwa sebuah hal yang sangat memalukan bagi bangsanya mengirimkan ribuan tentara ke seberang lautan, semata-mata hanya untuk menindas sebuah bangsa yang ingin merdeka.


“Sangat mengerikan mengetahui kenyataan bahwa kami tak berbeda dengan orang-orang Jerman yang dulu pernah menindas kami,” ujar lelaki yang pada awal 1940-an pernah bergabung dengan kaum partisan Belanda penentang Nazi tersebut. Lantas kenapa ia datang ke Indonesia sebagai seorang serdadu?


Ceritanya, saat ia menjalani pelatihan militer di Ede, tiba-tiba ia diberitahu sang atasan bahwa sebentar lagi akan dikirim ke Indonesia untuk menumpas para “ekstrimis”. Alih-alih menerima perintah tersebut, ia malah lari ke Nice –sebuah kota kecil di Prancis– dan memilih menjadi seorang pengamen di sana. Di Nice, Princen berpacaran dengan Els, seorang perempuan Yahudi. Dari kontak emosionalnya dengan bekas buronan Nazi itulah ia semakin yakin kepada sikap anti penindasannya. Bahkan lebih dari itu, Els justru mendorong Princen untuk “bertindak lebih nyata” terhadap sikapnya yang anti pengiriman militer Belanda ke Indonesia.


“Mengapa kamu tidak melakukan sesuatu? Mengapa kamu memilih untuk lari ke sini?” ujar Els seperti yang dituturkan Princen kepada Hanna Rambe dan Peter Schumacher dalam Princen,Orang Tanpa Cap.


Tak dinyana oleh siapapun (termasuk mungkin pada awalnya oleh Princen sendiri), dalam perkembangan selanjutnya Princen benar-benar“bertindak lebih nyata” (dan gila) dibanding para serdadu lain yang sama-sama anti pengiriman militer Belanda ke Indonesia: ia membelot ke pihak Indonesia dan memutuskan bertempur dengan kawan-kawannya sendiri sesama serdadu Belanda!


Tahun 1948, setelah sempat ditahan oleh Tentara Merah (sebutan untuk unsur militer Indonesia yang terlibat dalam Insiden Madiun 1948), Princen bergabung dengan Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi di Yogyakarta yang saat itu sedang merencanakan hijrah kembali ke Jawa Barat. Pada mulanya, Mayor Kemal Idris (komandan Yon Kala Hitam) ragu Princen akan bisa mengikut iperjalanan kurang lebih 500 km nan penuh marabahaya itu. “Saya malah sempat menawarkan kepadanya untuk kembali ke kesatuannya di militer Belanda," ujar Kemal. Tapi apa jawaban Princen?


“Aku telah katakan A, jadinya sekarang aku katakan juga B dan jika perlu aku katakan sampai semua aksara, jadinya aku ikut berangkat!”ujar Princen seperti yang dikatakannya kepada Joycevan Fenema dalam Kemerdekaan Memilih.


Sepanjang mengikuti long march Siliwangi itulah, Princen menyaksikan semangat dari sebuah bangsa yang benar-benar ingin merdeka. Ia pun semakin yakin terhadap pilihannya. “…Dua setengah bulan menyusuri jarak 500 km dengan kaki telanjang dan melihat desa-desa dibakar pesawat Belanda, meyakinkanku bahwa kecanggihan dalih-dalih, tentara terlatih, kesombongan, gengsi diri berlebihan adalah sebab dari semua pembunuhan itu berlangsung…,”tulisnya dalam Gerilya yang Tak Pernah Selesai.


Kesetiaannya terhadap Siliwangi menjadikan Princen lambat laun semakin dipercaya oleh seluruh anggota pasukan. Terlebih sikap Princen yang supel dan suka humor membuat ia populis di kalangan para pengikut long march. Ada sebuah cerita lucu, setiap Princen mandi, tiba-tiba sungai menjadi penuh orang, perempuan maupun lelaki. Mengapa?


Selidik punya selidik, ternyata,” Mereka rupanya ingin tahu seberapa besar sih “keperkasaan” lelaki Belanda ini,”ujar Princen sambil tertawa.

J.C Princen menjabat sebagai Komandan Kompi dalam Batalyon
Kala Hitam Divisi Siliwangi tengah menginspeksi pasukannya (tanda X)
Dokumentasi: Arsip Indonesia



SESAMPAI di Jawa Barat, Princen ditempatkan oleh Mayor Kemal Idris di kompi yang dipimpin oleh Kapten Saptadji sebagai komandan peleton Pasukan Istimewa. Selama kurun 1948-1949, ia dan pasukannya, banyak merugikan militer Belanda di kawasan Cianjur dan Sukabumi. Bukan saja nyawa tapi juga persenjataan. Dalam setiap operasinya, tak jarang Princen “berhasil” menipu militer Belanda dan konco-konconya. Caranya dengan pura-pura menjadi “tentara Belanda”.


Seperti yang terjadi pada 28 Maret 1949. Saat itu, pasukan Princen berhasil menaklukan–dengan tanpa satu pun peluru keluar- satu peleton Poh An Tui (milisi orang-orang Cina bentukan Belanda) di sebuah pabrik dikawasan Padaasih, Sukabumi. “Dengan modal seragam hijau mirip seragam tentara Belanda, aku dengan 2 pengawalku mendatangi pabrik itu, dan berteriak: “Inspeksi kemanan, bariskan semua dan kosongkan senjata!”,mereka terkecoh dan lumayan beberapa karaben dan satu bren berhasil kami rampas,”tuturnya sambil terkekeh.


Namun tak jarang, para gerilyawan yang dipimpinnya terlibat kontak senjata yang seru dengan pasukan Belanda. Salah satu pertempuran yang ia anggap paling seru adalah saat ia harus menghadang serangkaian kereta api yang mengangkut serombongan polisi Belanda di Stasiun Gandasoli (sebuah halte dekat terowongan Lampegan di wilayah Kabupaten Cianjur).


Princen berkisah, begitu kereta api berhenti, salah seorang anak buahnya muncul dari balik rimbunan pohon dan dengan senjata terkokang lari menghampiri komandan jaga seraya berteriak: “Ini adalah penyergapan! Jika kalian melakukan apa yang kami perintahkan maka tak akan terjadi malapetaka!” Princen kemudian muncul dan memerintahkan anak buahnya untukmengosongkan kereta api dari penumpang sipil serta menjaga setiap pintu dengan senjata siap tembak. Saat proses inilah, seorang polisi Belanda nekat meloncat dari jendela kereta api dan… Dor! Tanpa ba bi bu lagi, sebuah karaben menyalakdan membuat polisi itu terkapar tewas.


Mendengar suara tembakan tersebut, serta merta masinis kereta api panik dan menjalankan secara tiba-tiba kereta apinya. Seiring laju kereta api, granat-granat tanganpun berhamburan. “Hasilnya satu polisi Belanda mati,dan satu senjata berhasil kami rampas,”ujar Princen.


Pamor dan aksi-aksi Princen menjadikan militer Belanda semakin geram kepadanya. Konon NEFIS (intelijen Belanda) menjanjikan imbalan kepada siapa pun yang dapat menangkap Princen hidup atau mati. Ratusan telik sandi pun disebar di kawasan tempat gerilya Princen. Lelaki dari Den Haag itu tiba-tiba menjadi buruan nomor satu bangsanya sendiri.





JULI 1949. Mayor Jenderal E.Engels (Panglima Tentara Belanda diJawa Barat) menulis sebuat surat kepada Panglima Tentara Keraajaan Belanda di Indonesia: Letnan Jenderal D.C Buurman van Vreeden. Isinya: janji untuk“membereskan” disertir Kopral.JC.Princen, sebelum gencatan senjata berlangsung pada akhir Agustus 1949.


Surat rahasia itu sempat bocor ke pers dan sempat memunculkanu paya kontra intelijen dari TNI dengan meniupkan isu kematian Princen dan kepergiannya ke Australia .NEFIS tak bergeming, kepada surat kabar Sin Po,mereka bilang: “Desas-desus itu hanya tipu-tipu gaya TNI saja guna melindungiPrincen dan mencegahnya dari tuntutan.”


Maka pada 4 Agustus 1949, dibentuklah sebuah unit khusus pemburu serdadu Princen dari KST (Kopassus-nya KNIL), dengan pimpinan Letnan Henk Ulrici. Empat hari kemudian, secara diam-diam dan menyamar sebagai anggotaTNI, unit khusus yang berjumlah 60 prajurit itu bergerak dari Stasiun Lampegan dengan menyisir kawasan Cibeber.


Piet dan pendukungnya setelah keluar dari penjara di Belanda
Dokumentasi: Arsip Indonesia.



CIANJUR 9 AGUSTUS 1949. Pagi baru saja menyeruak kawasan Perkebunan Gunung Rosa. Bulir-bulir embun masih bergulung pada hamparan hijau dedaunan pohon teh. Suara ayam hutan menjerit-jerit dari batas hutan, seolah tengah memanggil matahari yang masih malu-malu menampakan diri untuk cepat datang dan menyinari bumi.


Di sebuah pondok sangat sederhana, Letnan TNI Jan Cornelis Princen bangkit dari sehelai tikar butut yang menjadi tempat peraduannya tadi malam. Usai mengeliat malas, pandangannya lantas membentur wajah Odah, seorang perempuan kecil berkulit sawo matang berkebaya yang masih tertidur pulas di sampingnya. Princen tersenyum kecil. Ia lalumengusap rambut gadis Sunda yang baru beberapa bulan dinikahinya itu.


Princen bangkit dan bergerak menuju arah beranda. Saat langkahnya menuju hitungan ketiga, tiba-tiba suara rentetan tembakan membahana, seolah ingin memerangi kesunyian pagi itu. “Heh, Setan! Jangan main-main kalian!”teriak lelaki kelahiran Den Haag tersebut. Rupanya, ia mengira suara tembakan itu bersumber dari salah satu anak buahnya yang tengah iseng di parit pertahanan.


Alih-alih menjadi diam, teriakan Princen justru dijawab dengan desingan peluru dan lemparan sebuah granat nanas yang terbang melewati kepalanya. Refleks, Princen menjatuhkan diri ke lantai, merayap ke arah jendela bagian belakang dan menciutkan tubuhnya untuk kemudian menjatuhkan diri ke luar pondok.


“Aku cepat sadar, kami tengah diserang,”kenang mantan kopral tentara Belanda itu.


Ia kemudian berteriak memberi komando kepada anak buahnya untukmembalas sambil mundur ke punggung bukit yang ada di belakang pondok. Di tengah suara desing peluru dan gelegar granat, ia merasakan bagian bawahnya nyeri dan perih. “Salah satu serpihan granat pertama telah menembus salah satu bagian kaki kiriku,”ujarnya. Pertempuran pun terus berlangsung.




SEHARI SEBELUMNYA, seorang kurir dari markas kompi di Batusirap (kira-kira 40 km dari Gunung Rosa) mendatangi Princen. Ia menyampaikan sepucuk surat dari Kapten Saptadji berisi peringatan: satu peleton tentara Belanda berkekuatan sekitar 50-60 serdadu terdeteksi telik sandi Siliwangi tengah bergerak dari arah Stasiun Kereta Api Lampegan (dekat Gunung Padang) menuju arah posisi pasukan Princen.


“Mereka bersenjata lengkap, berikat kepala dan jelas tengah menyamar sebagai anggota TNI. Hati-hatilah,”demikian bunyi peringatan atasan Princen itu.


Tak mau kecolongan, malam harinya, Princen bersama beberapa anak buahnya bergerak menuju Cilutung. Di sana, mereka lantas menembakan peluru-peluru sinyal ke arah selatan.


Setelah beberapa jam menunggu dan tak mendapatkan para pemburunya bergerak, peleton Pasukan Istimewa yang dipimpin Princen akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke Gunung Rosa. “Aku minta seorang perwira dan satu unit pasukan untuk bertahan di Cilutung guna menghadapi kemungkinan mereka bergerak lewat tengah malam,”kenang Princen.


Begitu kembali di Gunung Rosa, demi keamanan, Princen memerintahkan para penjaga untuk menggali lubang-lubang pertahanan yang menempatkan para penembak jitu di dalamnya. Ia lantas masuk ke pondok dan disambut oleh seulas senyum dari Odah yang tengah menyiapkan makan malam untuknya: ayam goreng, nasi putih dan sambal. Sambil menemani Princen makan, Odah bercerita tentang banyak hal dalam bahasa Sunda.


Di tengah kerinduannya kepada keluarga di Belanda, Odah menjadi belahan jiwa sekaligus pelipur lara bagi Princen di negeri tropis ini. Perempuan Sunda itu dinikahinya beberapa bulan setelah ia meninggalkan kesatuan KL-nya dan bergabung dengan Divisi Siliwangi. Masih segar dalam ingatan Princen, bagaimana pertemuan pertama dirinya dengan Odah.


Suatu hari saat pulang penghadangan, di jalan setapak sebuah hutan bambu, secara tak sengaja ia bertubrukan dengan seorang gadis yang tengah membawa kue-kue kecil dalam sebuah tampah. Sudah pasti, benda-benda enakitu pun berserakan di tanah


“Aku lantas minta maaf, mengantarkan dia pulang ke kampungnya dan mengganti kerugian yang ia derita akibat kecerobohanku,”kenang lelaki bule kelahiran Den Haag, Belanda itu.


Sejak itulah, ia jadi sering berkunjung ke rumah Odah di sebuahdesa dekat lereng Gunung Gede. Tak jarang, ia pun kerap mengajak Odah ke markasnya. Pasangan Odah-Princen kemudian menjadi ajang gossip di kalangan pasukan dan orang-orang kampung yang tidak terbiasa dengan tradisi pacaran ala Belanda-nya.


Beberapa waktu kemudian, atas desakan Kapten Saptadji yang merasa jengah dengan gosip-gosip tersebut, Princen dan Odah pun menikah. Princen lantas masuk Islam. “Aku sedikitpun tidak memiliki persoalan. Aku percaya kepada Tuhan dan sudah lama memastikan diri bahwa tidak banyak bedanya melalui agama mana kepercayaan itu aku salurkan,”ujarnya seperti yang diungkapkan Joyce van Fenema dalam Poncke Princen, Een Kwestie van Kiezen


Malam semakin dingin. Suara binatang malam bersipongan, membentuk orkestra yang digerakan alam. Obrolan masih terus berlanjut begitu Princen selesai bersantap. Menjelang dini hari, mereka akhirnya menyerah dan memanjakan rasa kantuknya di sehelai tikar butut. Terlelap hingga serentetan tembakan memecah pagi.

Princen dalam sebuah sidang di Belanda


SAMBIL MENGHAMBURKAN PELURU-peluru tajam dari Tommygun-nya, Ulrici memerintahkan anak buahnya untuk membuat formasi setengah lingkaran mengepung pondok kecil yang dikelilingi parit tersebut. Beberapa anak buahnya lantas melempar 2-3 granat ke arah para penembak jitu TNI yang tengah bertahan di lubang. Glaaarrr! Asap putih dan kobaran api kemudian muncul. Lima prajurit Siliwangi nampak terkapar bersimbah darah.


Diikuti oleh sebagian anak buahnya, Ulrici berlari menembus asap putih dan kobaran api untuk mendapatkan Princen di dalam pondok. Usai mendobrak pintu, ia lantas menghambur ke dalam pondok. Sekilas sudut matanya yang terlatih menangkap gerak sesosok tubuh di dalam kamar. Tratatatatat! Tanpa menunggu lagi, Ulrici menghantam sosok itu dengan hamburan peluru Tommygun-nya.


Dalam gerak hati-hati, prajurit yang kelak mendapat medali Militaire Willems-Ordedar dari Kerajaan Belanda itu mendekati sosok yang sudah terkapar tersebut. Hatinya tercekat, begitu mengetahui tembakan yang ia lakukan sudah membobol kepala seorang perempuan muda hingga darah dan isi kepalanya berhamburan. Menurut Princen, dalam wawancara dengan dengan sebuah media Belanda, belakangan Ulrici menyatakan penyesalannya atas pembunuhan yang menurutnya tak disengaja itu. “Saya terpaksa menembaknya, karena dia akan menembak saya,”ujarnya.


Selain perempuan muda itu, ia hanya menemukan sebuah buku yang berisi catatan harian milik Princen. Sadar operasinya telah gagal dan waktu gencatan senjata semakin dekat, ia lantas memerintahkan pasukannya untuk mundur dan membawa dua serdadu yang tewas di tempat itu. Gunung Rosa pun kembali sunyi.


Sementara itu, di balik bukit yang lain dari Gunung Rosa, beberapa anak buah Princen berusaha menahan komandannya yang nekat akan menyerang sendirian ke pondok yang beberapa saat mereka tinggalkan. Dalam film dokumenter White Guerilla, dilukiskan bagaimana pedih dan merasa berdosanya Princen karena harus meninggalkan Odah dan beberapa anak buahnya.


Langit di atas Gunung Rosa semakin terang. Suara burung kecil yang sempat terhenti kembali bernyanyi, mengiringi teriakan histeris Princen saat memeluk Odah yang sudah terkapar tanpa nyawa di beranda pondok sederhana tersebut. “Padahal saat memasuki pondok, aku berharap menemukan Odah di dalam dengan situasi persis seperti aku terakhir kali melihatnya…”kata Princen dalam nada pilu.


Akibat serangan menjelang gencatan senjata tersebut, 14 prajurit Pasukan Istimewa gugur. Beberapa senjata dan perlengkapan pribadi hilang. Moril pasukan bergerak jatuh ke titik nadir karena kehilangan itu. “Kami menangis. Kami tahu kami telah kehilangan mereka. Bagiku sendiri, serasa ada sesuatu yang retak di dalam saat itu. Seperti ada sesuatu yang patah dalam keseluruhan hidup. Tiba-tiba, semuanya menjadi lain…Kami menjadi tenang tapi semakin keras…”ujar Princen.


Hari berikutnya, perang telah berakhir. Kendati banyak kawan-kawannya di Siliwangi bersimpati dan kerap menghiburnya (termasuk sahabatnya Mayor Kemal Idris), namun kehilangan Odah menjadikan Princen merasakan setiap hari seperti ada sebilah bayonet yang mengerat hatinya secara perlahan bila mengingat Odah. “Sampai saat ini, wajahnya masih terbayang dan membuat jiwaku selalu terluka. Memang tadinya aku pikir sudah berlalu, tapi ternyata belum…”ujarnya kepada saya 19 tahun yang lalu.


Princen tak bertahan lama sebagai seorang serdadu. Lepas dari dinas ketentaraan pada 1950, ia ditugaskan di bagian imigrasi. Tidak betah dengan dunia kerja yang rutin, ia lantas banting setir menjadi anggota parlemen pada 1955 (dari Partai IPKI, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Selesai sebagai anggota parlemen pada 1959, seterusnya ia banyak aktif di lembaga yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia dan lebih dikenal orang sebagai seorang oposan yang sangat kritis terhadap Pemerintahan Orde Lama dan Pemerintahan Orde Baru.


Pada 20 November 1995, Princen memperingati ulang tahunnya yang ke-70 dalam suasana sederhana. Tujuh tahun kemudian, gerilyawan tua itu mangkat dan sesuai pesan terakhirnya, ia dimakamkan di sebuah pemakaman umum yang terletak dalam kawasan Pondok Kelapa, Jakarta.

Princen 2014



PAGI baru saja menyeruak kawasan Perkebunan Gunung Rosa. Bulir-bulir embun masih bergulung pada hamparan hijau dedaunan pohon teh. Suara ayam hutan menjerit-jerit dari batas hutan, seolah tengah memanggil matahari yang masih malu-malu menampakan diri untuk cepat datang dan menyinari bumi.



Saya berjongkok, meraih segenggam tanah di bekas tempat Odah dan 14 prajurit Siliwangi gugur. Selintas terngiang, suara lemah Princen tua di telinga saya: “Bahwa aku seorang pemberontak dan pengkhianat, itu benar.Tapi aku bisa mempertanggungjawabkan semua yang pernah aku lakukan, kepada siapa pun termasuk kepada negeriku Belanda dan dunia…”

Referensi
Arsip Nasional

1 komentar: