SERBA SEPUH - Oei
Hui Lan adalah mimpi kebanyakan perempuan. Lahir dengan kecantikan menawan Hui
Lan dianugerahi limpahan kekayaan. Ayahnya, Oei Tiong Ham adalah pengusaha
candu, kopra, dan gula terkaya se-Asia Tenggara. Di zamannya nama Oei sohor
dengan sebutan “Raja Gula Semarang”. Oei, konglomerat pertama Asia Tenggara,
bos Kian Gwan Concern yang dijuluki ”Rockefeller Asia”.
Hui Lan lahir di
Semarang, Jawa Tengah, 21 Desember 1889. Ia dibesarkan dalam rumah yang sangat
besar. Luasnya mencapai 9.2 hektar dengan gaya arsitektur Eropa dan China. Di
rumah Oei terdapat 200 ruangan, dapur, villa pribadi, dan dua paviliun besar.
Oei juga membangun kebun binatang pribadi di rumahnya. Demi merawat semua itu,
Oei mempekerjakan 40 pembantu rumah tangga, 50 tukang kebun, dan dua koki asal
Cina dan Eropa. “Rumah kami mungkin yang terbesar di tanah Jawa. Kantor
Gubernur saat itu masih tak sebanding dengan rumah kami,” kenang Hui Lan.
Ibu Hui Lan, Goei
Bing Nio adalah perempuan yang ambisius. Goei membangun citra keluarga lewat
harta yang dimiliki suaminya. Dia membeli apa saja yang dianggap bakal
meninggikan derajat keluarga mulai dari perhiasan, pakaian mahal, kendaraan,
hingga plesiran ke Eropa. Dari Goei, Hui Lan belajar cara bergaul dengan
kalangan Jet Set Eropa dan berhasil menempatkan status keluarga Oei sejajar
dengan keluarga kerajaan Inggris.
Kekayaan dan
berbagai fasilitas yang dimiliki sang ayah tak serta merta menjadikan jalan
hidup Hui Lan adem ayem. Ibarat cerita telenovela, jalan hidup Hui Lan malah dramatis dan penuh tragedi. Kekayaan sang
ayah membuat sang ibu tak pernah rela anaknya menikah dengan kalangan biasa.
Di tanah Jawa
memiliki gundik merupakan hal lumrah bagi orang-orang kaya. Tak terkecuali Oei
Tiong Ham. Suatu hari Oei memutuskan menambah seorang gundik dari keluarga.
Keputusan itu disesalkan Goei. Bagi Goei tak soal suaminya memiliki banyak
gundik, sepanjang bukan berasal dari keluarga sendiri. Sejak itu Goei bersumpah
tak menginjakan kaki lagi di kerajaan Semarang dan lebih memilih menentap di
Inggris bersama putrinya.
“Mengapa
ayahmu harus mencari gundik dari pihak keluarga ibu?! Ayahmu sepertinya sudah
gila. Sudah tahu Lucy Ho adalah keponakan ibu, tapi ia malah menikahinya. Ibu
tidak akan peduli bila gundik itu orang lain. Tapi kalau sudah masuk dalam
keluarga ibu, apa kata orang di Semarang tentang ibu?? Benar-benar memalukan,”
Hui Lan mengenang ucapan ibunya.
Saat menetap di
Inggris Hui Lan dan ibunya tinggal serumah
bersama kakak pertama Hui Lan, Tjong Lan. Rumah mereka berada di kawasan
elite London, Brooke Street. Mereka juga membeli rumah di daerah elite
Wimbledon, Oakland dan sebuah sedan Rolls Royce lengkap dengan supir dan
footman yang bertugas membuka pintu. Goei yang ambisius kerap hadir dalam
berbagai acara lelang barang yang belum tentu disukainya. Goei ingin menunjukan
betapa kayanya keluarga Oei. Bahkan, dia rela membayar setiap lelang berpuluh
kali lipat dari siapapun. Sampai di sini, gaya hidup jet set Hui Lan kuat
terbangun.
Di Inggris, Hui
Lan menikmati statusnya sebagai putri Raja Gula dari Asia Tenggara. Banyak pria
berdarah bangsawan Eropa tergila-gila dengannya. Salah satunya, keturunan
bangsawan Prancis, Guy Brook dan Lord Brook. Tapi Goei tak pernah memimpikan
menantu bule. Meski saat itu putrinya sudah menginjak usia 18 tahun.
Suatu hari Tjong
Lan berencana menjodohkan adiknya dengan pria asli keturunan Cina. Namanya
Wellington Koo. Wellington duda usia 32 tahun alumnus Colombia University. Dia
orang penting kedua, setelah Jendral Tang dalam urusan diplomatik luar negeri
Cina di Eropa. Hui Lan mengagumi kecerdasan dan kesopanan Wellington dalam
bergaul. Tapi dia tak pernah benar-benar ingin menikah dengan seorang duda.
“Saya tidak mau menjadi ibu Tiri!” kata Hui Lan kepada ibu dan kakanya.
Hui Lan tak ingin
pengalaman kedua orang tuanya terulang dalam hidupnya. Bagi Hui Lan pernikahan
kedua orang tuanya tak pernah bisa dimengerti. Mereka menikah tanpa dasar
cinta. Bahkan Oei baru melihat wajah Goei saat malam pertama pernikahan. Wajar
bila kemudian rumah tangga Oei dan Goei nyaris selalu diwarnai
pertengkaran.
Tjong Lan dan Goei
habis-habisan membujuk Hui Lan agar mau menerima lamaran Wellington. Hingga
akhirnya kabar perjodohan ini terdengar oleh Oei Tiong Ham yang saat itu sudah
menetap di Singapura. Oei marah besar kepada Tjong Lan dan Goei. Menurut Oei,
dalam tradisi Cina pernikahan antara gadis dan duda, cenderung merugikan pihak
perempuan. Sebab, meski Wellington sudah menduda, tradisi Cina tidak pernah
mengenal istilah cerai. “Hui Lan tidak akan pernah benar-benar menjadi istri
sah,” tulis Oei dalam surat kepada Goei dan Tjong Lan.
Tapi kemarahan Oei
tak bisa menghentikan ambisi istri dan
anak pertamanya memiliki menantu orang terpandang. 1921 Hui Lan menikah dengan
Wellington di kantor Kedutaan Belgia. Pernikahan hanya dihadiri sang ibu, kakak
ipar Ting Liang (suami Tjong Lan), Jendral Tang dan beberapa pejabat kedutaan
Belgia. Tjong Lan selaku mak comblang tak bisa hadir karena sakit. Atas
pernikahan itu sang ibu menghadiahi Hui Lan mobil Rolls-Royce dan peralatan makan
seharga 10.000 poundsterling.
Gaya hidup Hui Lan
dan Wellintong bertolak 180 derajat. Hui Lan senang menghabur uang, Wellington
sederhana dan bersahaja. Dibandingkan kiriman uang yang diterima Hui Lan dari
ayah dan ibunya, gaji Wellingtong memang bagai langit dan bumi. Penghasilan
Wellington hanya $ 600 dolar perbulan. Sementara Hui Lan bisa menghabiskan
80,000 poundsterling untuk sekali menghias rumah. Materi kerap menjadi sebab
percekcokan keluarga ini.
Suatu hari seorang
peramal India datang menemui Hui Lan. Dia mengatakan ayah Hui Lan akan mati di
tangan orang-orang sekitarnya. Hui Lan disarankan segera membawa ayahnya hidup
di Cina. Ucapan sang peramal begitu mengejutkan Hui Lan. Terlebih peramal itu
juga memberi bukti tanda-tanda kematian sang ayah kepada Hui Lan. Kecuali Hui
Lan, tak satupun orang percaya ucapan sang peramal. Sampai akhirnya, tak lama
berselang dari ramalan, Oei Tiong Ham benar-benar dikabarkan meninggal pada 6
Juni 1924 di Singapura. Jenazahnya diberangkat ke Semarang untuk dimakamkan.
Usaha Hui Lan
mengotopsi jenazah sang ayah guba mendapat penyebab pasti kematian tak mendapat
dukungan dari ibu dan keluarganya. Tiba-tiba, Hui Lan teringat ucapan peramal
India bahwa tidak ada yang benar-benar mencintai ayahnya kecuali dirinya. Semua
keluarga hanya menginginkan harta ayahnya dan kematian menjadi satu-satunya
keinginan mereka.
“Saya shock
mendengar peristiwa yang begitu mendadak. Sepanjang malam saya selalu menangis
karena tidak bisa menerima kenyataan itu. Sepanjang hidup saya, saya selalu
merasa aman karena ada ayah di samping saya. Bukan hanya dalam hal keuangan,
tetapi lebih dari itu. Selama ada ayah, tidak ada orang yang berani berbuat
jahat kepada saya,” kata Hui Lan.
Usai upacara
pemakaman, pengacara Oei Tiong Ham mengumpulkan seluruh keluarga untuk
membacakan wasiat terakhir almarhum. Dalam wasiatnya Oei memberikan $ 12 juta
dolar kepada istri sah. $ 1 juta dolar untuk Tjong Lan. Dan $ 15 juta dolar
untuk Hui Lan. Sedangkan perusahaan Oei dibagi kepada tiga pihak terpilih yakni
Lucy Ho, Oei Tjong Swan, dan Oei Tjong How.
Oei Hui Lan,
Wellinton Koo, bersama sosialita barat Pengacara melanjutkan, “Adapun enam
putera terpilih lainnya Oei Tjong Tjhiat, Oei Tjong Yan, Oei Tjong Ik, Oei
Tjong Le, Oei Tjong Bo, Oei Tjong Hiong dan Oei Tjong Tjay mendapatkan beberapa
perusahaan yang akan diwakilkan Tjong Swan dan Tjong Haow. Sedangkan kepada 33
anak lainnya hanya akan mendapatkan jaminan social dan hidup. Istri-istri tak
sah lainnya akan mendapatkan hak yang sama dengan 33 keturunan lainnya,” tulis
Oei dalam wasiatnya.
Mendengar
keputusan itu, semua pihak mulai panik karena hanya sedikit dari mereka yang
mendapat warisan. Warisan Oei yang mestinya membawa berkah justru malah menjadi
pertikaian keluarga. Anak-anak dari gundik simpanan Oei yang tidak puas dengan
wasiat itu mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka akhirnya berhasil
mendapatkan warisan masing-masing sebanyak 400.00 gulden. Hui Lan sendiri yakin
bila sang ibu berada di Semarang, dia akan segera membatalkan wasiat itu.
Hui Lan akhirnya
memilih meninggalkan Semarang dan menetap di Washington. Perlahan waktu dia
menyadari bahwa kekayaan dan pergaulan ningrat tidaklah penting. Yang
terpenting adalah kepribadian dan cara berpikir seseorang memaknai kehidupan.
Hui Lan meninggal tahun 1992 dalam status janda dan meninggalkan dua orang
putera. Darinya kita belajar sejarah kehidupan yang membuat kita bertanya
"apakah kebahagian dan kehormatan bisa memberi kebahagiaan
sesungguhnya?"
0 Comments: