KISAH INI ADALAH KISAH NYATA PUTRI SANG RAJA GULA YANG IA TULIS DALAM BUKUNYA” TAK ADA PESTA YANG TAK BERAKHIR” . CUKUP MENARIK UNTUK DISI...

Memoar Oei Hui Lan : Kisah Tragis Putri Orang Terkaya Indonesia

KISAH INI ADALAH KISAH NYATA PUTRI SANG RAJA GULA YANG IA TULIS DALAM BUKUNYA” TAK ADA PESTA YANG TAK BERAKHIR” . CUKUP MENARIK UNTUK DISIMAK DAN SEMOGA MEMBERIKAN ANDA ILHAM DALAM KEHIDUPAN..


SERBA SEPUH - Oei Tiong Ham, yang dijuluki Raja Gula dari Semarang pernah jadi orang terkaya di Asia Tenggara. Ia juga berdagang candu. Berlainan dengan Tjong A Fie, ia tidak dikenal sebagai dermawan. Sekitar tiga dasawarsa yang lalu, putrinya Oei Hui Lan, bersama Isabella Taves, menulis memoar yang diterbitkan di Amerika Serikat. Dari buku berjudul No Feast Last Forever itu kita bisa tahu perihal kehidupan mereka, yang bisa membeli apa saja dengan uang mereka yang berlimpah. Namun apakah mereka berbahagia ?

Saya lahir di Semarang, Desember 1889 sebagai Oei Hui Lan, putri Oei Tiong Ham yang pernah dikenal sebagai Raja Gula dan oran terkaya di Asia Tenggara. Ibu saya istri pertamanya. Ibu hanya mempunyai dua orang anak, kedua duanya perempuan. Kakak saya Tjong lan, sepuluh tahun lebih tua dari saya. Ayah masih mempunyai 42 anak dari 18 gundik. Bagi orang Cina, anak gundik pun dianggap sebagai anak sah.

Saya duga, anak ayah lebih banyak daripada itu, tetapi cuma anak laki laki yang kelingkingnya bengkok yang diakuinya sebagai putranya. Kelingking bengkok diwarisi ayah dari ayahnya. Tjong Lan berkelingking bengkong. Kelingking saya lurus. Namun ayah tidak meragukan saya sebagai anaknya, sebab mana mungkin ibu saya serong dengan pria lain.

Wajah Kakek dianggap membawa Rezeki

Kakek saya Oei Tjie sien berasal dari Amoy, di daratan Cina. Pada masa mudanya ia senang bertualang. Ia terpelajar dan konon tampan seperti Raja Umberto dari Italia, tetapi seingat saya ia pendek dan gemuk.

Karena ikut pemberontakan Taiping, ia menjadi buronan pemerintah Mancu. Terpaksa ia kabur ke sebuah jung yang akan berangkat. Setelah berlayar berbulan-bulan, tibalah ia di Semarang, Jawa. Ia turun tanpa membawa uang sepeserpun dan pakaiannya hanya yang melekat di badan. Di tempat asing yang bahasanya sama sekali tidak dikenalnya itu, ia hanya bisa menawarkan tenaga mudanya.

Mula-mula ia bekerja di pelabuhan, menghela jung-jung yang kandas di lumpur. Ia menyewa penginapan murah tempat para pendatang Cina tidur menggeletak di lantai papan. Pada suatu malam, pemilik gubuk bambu itu melihat pemuda yang sedang tidur kelelahan itu. Wajah pemuda itu dianggapnya membawa rezeki. Pemilik gubuk kebetulan mempunyai banyak anak perempuan. Pemuda itu dibangunkannya untuk dilamar menjadi menantunya. Oei Tjie sien mau saja. Calon istrinya baru berumur 15 tahun, tubuhnya kuat dan sifatnya penurut.

Mereka menikah tanpa pesta apa pun. Perempuan muda itu bekerja keras membantu suaminya. Ia melahirkan tiga anak putra (yang seorang meninggal saat masih bayi) dan empat putri. Sementara itu Oei Tjie Sien keluar masuk kampung memikul barang kelontong. Kadangkadang dari kampung ia membawa beras untuk dijual di kota.

Lama kelamaan , ia menjadi makmur berkat beras. Dikirimkannya uang ke Cina untuk membeli pengampunan, sehingga ia bisa berkunjung ke cina, sekalian memperkenalkan putra sulungnya, Oei Tiong Ham, kepada orang tuanya. Petama kali diajak ke Cina itu, umur ayah baru tujuh tahun. Ia lahir 19 November 1866.

Potong Kuncir Lalu ke Eropa

Kakek berakar di Jawa. Anak-anaknya, bisnisnya dan bahkan makamnya pun ada di pulau itu. Namun ia selalu menganggap dirinya orang Cina dan disebut singkeh, tamu baru. Ia hidup seperti di Amoy, makan makanan Hokkian saja, berbahasa Hokkian saja (ia paham bahasa Melayu tetapi cuma bisa mengucapkan beberapa kata) dan selalu memakai pakaian cina. Karyawannya semua orang Cina, yang berhitung dengan sempoa.

Nenek saya tidak pernah keluar rumah, kecuali kalau ada upacara pembersihan makam keluarga. Kegiatannya cuma main mahyong dan kadang kadang mengisap pipa air. Ia tidak pernah mengunyah sirih, berlainan dengan nenek saya dari pihak ibu.

Namun kakek saya Oei Tjie Sein dan tanda tangannya pun Oei Tjie Sein. Namun ia ingin disebut Kiangwan. Perusahaannya disebut Kian gwan kongsi. Anehnya nenek saya menganggap dirinya Kong si. Jadi kalau menyuruh pelayan umpamanya, ia berkata ,”Kongsi ingin anu.” Kalu berbicara dengan ayah umpamanya, ia berkata Kongsi tidak suka anu.” Ayah juga kemudian memilih anam Tai gawan.

Menjelang lanjut usia, kakek lebih banyak berada di rumah peristirahatannya di luar kota, ketimbang di rumah lamanya di pecinan, walaupun kantornya tetap disana. Soalnya, ia mempunyai dua gundik yang ditempatkan di rumah peristirahatannya itu. Gundik yang seorang adalah seorang perempuan cina yang cantik, yang kulitnya putih mulus seperti porselin dan rambutnya hitam lebat. Kalau sanggulnya dilepas, rambutnya terurai mencapai mata kaki. Kakek lekas bosan kepadanya. Perempuan itu ditempatkannya di sebuah rumah kecil di lahan kakek yang luas itu. Makanan dan pakaiannya dicukupi. Keluarganya boleh menjenguk sekali sekali. Namun apalah artinya kalau kakek tidak pernah mengunjunginya. Saya heran perempuan muda itu bisa bertahan agar tidak menjadi gila.

Di rumah utama, kakek tinggal dengan seorang gundik yang paling dikasihinya. Perempuan itu berkulit hitam dan wajahnya buruk. Ia bertelanjang kaki, mengenakan sarung dan tidak bisa berbahasa Cina. Mereka memiliki dua orang anak yang kulitnya berwarna terang. Saya tidak pernah melihatnya, sebab ketika kakek meninggal ayah memberikan uang dan menyuruhnya pergi bersama anak anaknya, yang tidak diakui ayah sebagai saudaranya. Gundik kakek yang cantik dinikahkan dengan seorang karyawan ayah.

Nenek tidak penah diundang kakek ke rumah peristirahatannya. Walaupun nenek ingin sekali datang. Dekat rumah itu, kakek sudah menyediakan mausoleum untuk makamnya, yang dibangun selama 25 tahun. Nenek meninggal lebih dulu daripada kakek. Ketika kakek meninggal, ia mewariskan 10 juta gulden atau kira kira AS$ 7 juta. Buat ukuran jawa waktu itu, jumlah itu besar sekali.

Saat itu ayah sendiri sudah kaya. Jadi ia meminta kakek menyerahkan rumah besar di Pecinan kepada adik ayah, yang lebih suka menjadi seniman daripada pedagang. Adik-adik ayah yang perempuan mendapat warisan juga. Sejumlah uang disisihkan pula untuk menolong orang orang bermarga Oei yang memerlukan bantuan.

Sesudah kakek meninggal, ayah menjadi kepala keluarga besar kami dan kami pun bebas melakukan hal-hal yang tadinya dilarang kakek. Yang pertama dilakukan ayah adalah meminta izin khusus kepada penguasa Belanda untuk memotong jalinan rambutnya. Kami pun berkunjung ke Eropa untuk perama kalinya. Masa itu perjalanan dengan kapal makan waktu 35 hari. Bagi kakek, dunia ini cuma Cina, tetapi dunia ayah lebih luas.

Janda Yang Baik Hati

Sebelum ayah mulai berusaha mencari nafkah sendiri, ia membantu kakek. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan uang sewa rumah. Suatu hari, setelah berhasil menggantungi 10,000 gulden, ia lewat ke tempat perjudian dan tidak bisa mengekang nafsunya untuk berjudi. Uang bawaannya amblas.

Keluar dari rumah perjudian, baru ia insaf apa akibat kekalahannya di meja jugi itu. Ia tidak punya muka untuk berhadapan dengan ayahnya karena telah berani mempergunakan uang yang bukan miliknya. Kakek bukan hanya tidak suka pada perjudian, tetapi juga keras terhadap anak. Ayah merasa dirinya hina dan bermaksud menceburkan diri dari jembatan. Namun ia ingin mengucapkan selamat berpisah dulu dari kekasihnya, seorang Janda. Janda itu mendesak ayah untuk menerima uangnya sebanyak 10,000 gulden. Akhirnya, ayah mau juga menerimanya. Kebaikan janda itu tidak pernah dilupakan ayah. Ia bukan cuma mengembalikan uang itu, tetapi juga menjamin hidup janda yang menyelamatkan nyawanya itu.

Kakek selalu hidup hemat, ayah sebaliknya. Kakek sering memarahi ayah karena kesenangannya bermewah mewah itu. Suatu hari, karena kesel dimarahi, ayah berkata kepada nenek,“Suatu hari kelak, saya akan lima puluh kali lebih kaya daripada ayah.“Hal itu memang terlaksana.

Mulanya begini: Salah sebuah rumah milik kakek ditinggali seorang Jerman yang sudah lanjut usia. Mantan konsul itu ingin sekali membeli rumah dengan tanah luas yang mengelilinginya itu, tetapi kakek tidak mau menjualnya. Menurut orang Cina, menjual salah satu miliknya berarti kehilangan gengsi. Jadi mantan konsul itu mendekati ayah yang diketahuinya akan mewarisi rumah dan tanah itu.

Saya akan memberi Anda sejumlah uang yang bisa Anda tanamkan sekehendak hati,“usul orang Jerman itu.“Kalau uang itu amblas, saya tidak akan mengeluh. Kalau berkembang sampai sepuluh kali lipat atau lebih, berikanlah rumah dan tanah itu untuk saya pergunakan seumur hidup.

Pada dasarnya ayah seorang penjudi. Ia selalu yakin nasib baik berada ditangannya. Karena itu ia juga lebih suka mempunyai karyawan yang kepandaiannya sedang sedang saja tetapi rezekinya besar daripada memperkerjakan orang yang pandai yang tidak mempunyai hoki. Namun selain mengandalkan hoki, tentu saja ia juga pandai melihat situasi dan memanfaatkannya.

Tawaran dari mantan konsul itu sama saja dengan tantangan untuk berjudi. Jadi ia bertanya berapa jumlah uang yang akan diberikan oleh bekas konsul. Jawabannya mencengangkan dia: AS$ 300,000. Ayah segera setuju, tetapi tidak berburu nafsu menanamkan uangnya. Ia berpikir ayahnya menjadi kaya berkat beras. Jawa memang cocok ditanami padi, sementara itu tenaga kerja dan lahan murah. Tebu juga terbukti cocok ditanam di tanah Jawa. Jadi, ayah membeli lahan luas untuk ditanami tebu. Masa itu Revolusi Industri belum sampai ke Jawa, tetapi ayah sudah mendengarnya,. Ia mendatangkan ahli ahli dari Jerman untuk memberi nasihat perihal mesin mesin yang diperlukan untuk bercocok tanam dan mengolah tebu menjadi gula. Ia mendatangkan mesin mesin dan lewat mantan konsul ia juga mengirimkan pemuda pemuda ke Eropa untuk belajar menjalankan mesin mesin itu dan membetulkannya.

Suksesnya berkesinambungan sebab ia tidak pernah puas. Ia peka terhadap setiap pembaharuan dan gagasan, sehingga tidak henti hentinya menyekolahkan karyawan ke luar negeri supaya bisa mempelajari hal hal yang baru. Mesin mesinnya terus diperbaharui dan pabriknya mendapat aliran lsitrik lebih dulu daripada kediamannya.

Ayah berkata kepada saya,”Jangan mau jadi orang biasa biasa saja. Kita mesti menjadi orang nomor satu.” Kemudian ayah melebarkan sayapnya ke luar negeri dan ke bidang bidang lainnya seperti kopra. Sekali ia menunjukkan kepada saya perkebunan kopranya di luar kota Singapura. Saya berseru kagum ketika melihat tanaman indah itu. Ayah berkata,”Orang lain melihat pohon, aku melihat uang. Pohon kelapa tidak meminta banyak perawatan, tetapi mendatangkan banyak uang.”

Menurut saya, ayah bukan cuma berhasil berkat hoki, tetapi terutama oleh kepercayaan dirinya yang timbul karena ia menguasai bidang yang ia geluti. Akibatnya ia bisa cepat memutuskan segala sesuatu . Ia juga memiliki kepekaan untuk memilih waktu yang tepat.

Membuka Perwakilan di Wallstreet

Pada kunjungan kami yang pertama di Eropa, ayah membuka kantor perjualan di London dan Amsterdam. Untuk mewakilinya di Amsterdam, ayah memperkerjakan seorang Belanda bernama Peters, yang selalu saya panggil Pietro. Ayah mempunyai kapal-kapal sendiri untuk mengangkut gula, kopra, dan tepung kanji. Ayah yang tidak bisa berbahasa belanda, inggris, maupun Perancis itu kemudian membuka perwakilan di Wallstreet, New York.

Asal Muasal ia mengusahakan tapioka itu begini: suatu ketika seorang pemilik pabrik tapioka di Semarang ingin menjual pabriknya yang merugi terus. Ayah menukarkannya dengan sebuah rumah kecil. Pabrik itu diperbaikinya dan dilengkapinya dengan mesin mesin. Tidak lama kemudian ia sudah menjual 1,5 juta ton tapioka ke Asia Timur laut.

Ketika kakek meninggal, ayah menerima warisan rumah mantan konsul jerman itu. Sebetulnya ayah bisa membayar kembali uang pinjamannya beberapa kali lipat, namun ia menepati janjinya.

Bandul intan 80 karat

Ketika ayah saya menjadi kayaraya dan mendapat gelar kehormatan Majoor der Chinezen (1901) , saya sering ikut dengannya melakukan perjalanan perjalanan bisnis. Ayah berpesan kepada para sekretarisnya.,”Belikan dia semua yang diinginkannya”. Saya pun terbiasa untuk diistimewakan, untuk menyimpang dari peraturan yang berlaku dan untuk mengharapkan semua orang tahu bahwa saya anak ayah yang berkuasa.

Tidak ada seorang anak Belanda pun yang memiliki rumah boneka seindah kepunyaan saya. Tingginya sedagu saya, dibeli Pietro di Eropa. Saya bisa merangkak masuk ke dalamnya. Perlengkapannya komplet dan penuh detail. Di kamar mandinya ada handuk yang serasi. Ranjangnya memakai per dan kasur. Dalam lemari pakaiannya bergantungan pakaian boneka boneka saya. Di dapurnya ada panci, alat penggoreng, garpu dan pisau.

Di belakang rumah kami ada kebun binatang, berisi kera, rusa, beruang, kasuari, dll. Kalau ayah kembali dari bepergian, ia selalu membawa hadiah untuk saya spasang kuda poni, sepasang anjing chihuahua, boneka atau apasaja.


Umur saya belum tiga tahun ketika ibu mengalungkan bandulan intan 80 karat ke leher saya. Besar intan itu sekepalan tangan saya dan tentu saja menganggu gerak gerik dan bahkan menyakitkan saya. Namun ibu tidak perduli. Suatu hari ketika pengasuh memandikan saya, ibu melihat dada saya luka akibat intan itu. Barulah ibu melepaskannya. Sampai buku ini ditulis. Intan itu masih saya miliki, tersimpan di sebuah bank di London. Bersambung....

0 Comments: