SERBA SEPUH - Sekarang ini berbagai
cara di tempuh untuk menjadi cantik dan di kenal di dunia model dangan tolak
ukur yang telah di tetapkan. Tidak sedikit yang rela menghabiskan duit untuk
mendapatkan wajah dengan standar menurut kaca mata perusahaan yang menggunakan jasanya.
Tahukah Anda, pernah ada suatu masa di mana orang-orang cantik merasa menyesal
dengan wajahnya bahkan tidak segan-segan melumurinya dengan arang dan segala
sesuatu yang di anggap dapat membuat kecantikannya hilang.
Baik, pada postingan ini saya akan sedikit
mengulasnya tentang satu masa di mana kecantikan di anggap sebagai suatu
kutukan. Jaman tersebut terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia
sekitar tahun 1941. Setiap wanita merasa was-was jika ada marsose Jepang yang
tertarik padanya. Doelor kabeh tidak asing dengan istilah “jugun ianfu” toh?
Jugun Ianfu adalah istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara
kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asing lainnya adalah
Comfort Women.
Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan
merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana,
serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan
200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi
budak seks tentara Jepang.
Peperangan membuat kelelahan mental
tentara Jepang. Kondisi ini mengakibatkan tentara Jepang melakukan pelampiasan
seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal yang mengakibatkan
mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti tentara Jepang. Hal ini tentunya
melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini memunculkan
gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan
memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.
Mereka direkrut dengan cara halus
seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja
rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror
disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga. Dan
yang di rekrut ini tidak sembarang orang namun orang-orang cantik yang menarik
hati.
Jugunianfu berasal dari Korea
Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, Malaysia, dan
Indonesia. Sebagian kecil di antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri. Mereka
dibawa ke wilayah medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan
militer Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang
pertempuran. Sebagian besar perempuan-perempuan yang berasal dari pulau Jawa
yang dijadikan Jugun Ianfu seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri
Sukanti, hanyalah sebagian kecil Jugun Ianfu Indonesia yang bisa diidentifikasi.
Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia
yang hidup maupun sudah meninggal dunia yang belum terlacak keberadaannya.
Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual
tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan
kelaparan. Kemudian di aborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati
dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.
Ianjo pertama di dunia dibangun di
Shanghai, Cina tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk
pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia
sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah
seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.
Setelah perang Asia Pasifik usai
Jugun Ianfu yang masih hidup didera perasaan malu untuk pulang ke kampung
halaman. Mereka memilih hidup ditempat lain dan mengunci masa lalu yang kelam
dengan berdiam dan mengucilkan diri. Hidup dalam kemiskinan ekonomi dan
disingkirkan masyarakat. Mengalami penderitaan fisik, menanggung rasa malu dan
perasaan tak berharga hingga akhir hidupnya.
Kaisar Hirohito merupakan pemberi
restu sistem Jugun Ianfu ini diterapkan di seluruh Asia Pasifik. Para pelaksana
di lapangan adalah para petinggi militer yang memberi komando perang. Maka saat
ini pihak yang harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan ini adalah
pemerintah Jepang.
Pemerintah Jepang masa kini tidak
mengakui keterlibatannya dalam praktek perbudakan seksual di masa perang Asia Pasifik.
Pemerintah Jepang berdalih Jugun Ianfu dikelola dan dioperasikan oleh pihak
swasta. Pemerintah Jepang menolak meminta maaf secara resmi kepada para Jugun
Ianfu. Kendatipun demikian Juli 1995 Perdana Menteri Tomiichi Murayama pernah
menyiratkan permintaan maaf secara pribadi, Tetapi tidak mewakili negara
Jepang.
Tahun 1993 Yohei Kono mewakili
sekretaris kabinet Jepang memberikan pernyataan empatinya kepada korban Jugun
Ianfu. Namun pada Maret 2007 Perdana Menteri Shinzo Abe mengeluarkan pernyataan
yang kontroversial dengan menyanggah keterlibatan militer Jepang dalam praktek
sistem perbudakan seksual.
Pemerintah Indonesia menganggap
masalah Jugun Ianfu sudah selesai, bahkan mempererat hubungan bilateral dan
ekonomi dengan Jepang paska perang Asia Pasifik. Namun hingga kini banyak
organisasi non pemerintah terus memperjuangkan nasib Jugun Ianfu dan terus
melakukan melobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah Jepang agar
menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Kemudian upaya penelitian masih
terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram Jugun Ianfu Indonesia, berpacu
dengan waktu karena para korban yang sudah lanjut usia.
Banyak masyarakat yang merendahkan,
serta menyisihkan para korban dari pergaulan sosial. Kasus Jugun Ianfu dianggap
sekedar “kecelakaan” perang dengan memakai istilah “ransum Jepang”. Mencap para
korban sebagai pelacur komersial. Banyak juga pihak-pihak oportunis yang
berkedok membela kepentingan Jugun Ianfu dan mengatasnamakan proyek
kemanusiaan, namum mereka adalah calo yang mengkorupsi dana santunan yang
seharusnya diterima langsung para korban.
Di Indonesia sendiri terdapat
sekitar 1500 perempuan eks jugun ianfu yang sebagian besar dari mereka sudah
berusia lanjut bahkan telah meninggal dunia. Perjuangan yang mereka lakukan
untuk menuntut keadilan serta pengakuan tidak saja melelahkan dan lama, tapi
mereka juga nyaris berjuang sendirian karena sampai saat ini tidak nampak
adanya dukungan dari pemerintah terlebih pengakuan terhadap mereka.
Berikut ini adalah beberapa
penggalan pelaku sejarah kelam tersebut :
Mardiyem
Tiada yang menyangka, penderitaan lahir dan batin harus ditanggung oleh perempuan renta ini. Dulu, ia bercita-cita menjadi pemain sandiwara, tapi kemudian pupus oleh tipu daya Jepang. Ia pun harus rela dijadikan Jugun Ianfu, pemuas nafsu birahi serdadu Jepang. Benar-benar menyakitkan.
Mardiyem berusia 78 tahun. Tak ada
yang tahu jika dirinya dulu pernah menjadi budak seks tentara Jepang. Dan
karena itu ia memiliki nama panggilan semasa pendudukan Jepang di Indonesia.
Ia, oleh tentara Jepang, dipanggil dengan ‘Momoye’. Panggilan itu merupakan
panggilan bagi jugun ianfu yang dipekerjakan saat itu.
Tak banyak orang yang mengunjungi
rumah Momeye. Ia telah banyak dilupakan. Dilupakan oleh negara dan dilupakan
oleh teman-temannya. Bahkan, banyak dari teman-temannya yang sudah meninggal.
“Beginilah saya sekarang,”
ungkapnya dalam bahasa Jawa sembari memperkenalkan diri.
Meski demikian, sosoknya masih
kelihatan cantik. Wajah dan kulit yang terlihat putih menjadi penanda sisa-sisa
kecantikan masa lalunya. Pendengarannya pun masih setajam dulu. Sepertinya tak
banyak yang berubah dari perempuan tua ini, selain keriput yang makin melebar
dan gerakannya yang terlihat lamban. Dan mulailah Mardiyem menuturkan
pengalamannya.
Sumirah
Sore itu Sumirah yang baru berusia 14 tahun sedang menyusuri Jalan Gendingan, Semarang dengan sepeda barunya. Ternyata disekitar lokasi itu Sumirah melihat beberapa tentara Jepang sedang memaksa sejumlah perempuan muda menaiki truk tentara. Melihat kejadian itu Sumirah muda bukannya menyingkir dari bahaya yang mengintai, malahan tertegun kaget diliputi perasaan takut. Tanpa disadari seorang tentara Jepang sudah berada di samping Sumirah dan memaksanya ikut naik keatas truk. Tanpa berdaya Sumirah terpaksa mengikuti kemauan tentara Jepang tersebut dan meninggalkan sepeda barunya tergolek di tanah.
Para perempuan muda ini diberitahu
salah seorang serdadu Jepang untuk meminta mereka bekerja untuk militer Jepang,
saat itu dijelaskan juga bahwa kesempatan ini diberikan kepada mereka (para
perempuan) bekerja sebagai perawat. Militer Jepang berjanji akan memberikan upah
kerja dan mencukupi semua kebutuhan hidup mereka. Dengan lantang serdadu itu
berseru,”Apakah semua mau pekerjaan ini?”,terdengar jawaban serentak”Mau”.
Tak lama setelah memberikan jawaban
itu, para perempuan tersebut memasuki bangunan Semarang Kurabu, bangunan
bergaya arsitek Belanda yang telah direbut Jepang dari pemiliknya orang
Belanda. Setiap orang diberi kamar yang sudah dilengkapi dengan sabun, sikat
gigi, odol, dan minyak wangi. Setelah itu setiap perempuan diperiksa kesehatan
oleh seorang Dokter Jepang.
Hari-hari berikutnya ternyata para
perempuan ini dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang yang
mengunjungi Semarang Kurabu. Bila menolak melayani maka pukulan, tendangan dan
tempelengan yang diterima sebagai akibat penolakan. Sejak hari ini dan
seterusnya adalah neraka bagi para perempuan tersebut. Selain harus melayani di
Semarang Kurabu, seringkali Sumirah harus melayani para perwira di Hotel Du
Pavillon dan Hotel Oewa Asia yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Semarang
Kurabu.
Emah Kastimah
Nasib yang sama dialami Emah
Kastimah, perempuan asal Cimahi yang juga dijadikan budak nafsu para
balatentara Dai Nipon pada 1942. Waktu itu Emah, yang masih berusia 13 tahun,
diculik enam tentara Jepang saat sedang berbelanja di pasar. Dia kemudian
dilarikan dengan mobil dan disekap dalam barak tentara di Cimahi.
Tiga tahun Emah yang masih bau
kencur itu harus melayani pria-pria dewasa. Jika dia melawan, maka pukulan dan
tendangan akan diterimanya. Beberapa perempuan di tempat itu juga mengalami hal
yang sama.
Cerita di atas dituturkan Mardiyem
dan Emah yang usianya kini sudah mencapai 80 tahun saat tampil di Kick Andy.
Bersama sejumlah korban lainnya mereka berjuang agar pemerintah Jepang mengakui
"dosa" tentara mereka dulu dan kemudian meminta maaf. Bahkan Mardiyen
dan Emah pernah hadir sebagai saksi pada pengadilan tribunal di Jepang dan
Belanda.
Sementara Suhanah, juga asal
Cimahi, diculik dengan todongan pistol pada usianya yang baru 14 tahun. Tapi
karena mengalami pendarahan, setahun setelah disekap dia dibebaskan. Tapi,
kondisinya sudah parah rahimnya rusak dan harus diangkat. Sejak itu Suhanah
tidak bisa mempunyai keturunan. Kata seorang Dokter Jepang.
Hari-hari berikutnya ternyata para perempuan ini dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang yang mengunjungi Semarang Kurabu. Bila menolak melayani maka pukulan, tendangan dan tempelengan yang diterima sebagai akibat penolakan. Sejak hari ini dan seterusnya adalah neraka bagi para perempuan tersebut. Selain harus melayani di Semarang Kurabu, seringkali Sumirah harus melayani para perwira di Hotel Du Pavillon dan Hotel Oewa Asia yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Semarang Kurabu.
Sri Sukanti
Napas Sri Sukanti (79) tersengal.
Bicaranya tak jelas. Beberapa kali ia terhuyung. Di antara sedu-sedannya, ia
beberapa kali mengatakan, ”Sumpah, saya tidak bohong, saya diperlakukan seperti
kuda.”
Kesaksian Sukanti—satu dari 1.156
penyintas asal Indonesia, sebagian sudah meninggal—yang tak lebih dari 15 menit
itu membuat ruangan hotel berbintang berisi sekitar 100 orang itu sunyi.
Sukanti, dipapah Eka Hindrati, peneliti independen isu jugun ianfu, terus
berbicara dengan air mata bercucuran.
Usia Sukanti tak lebih dari 15
tahun ketika dipaksa menjadi pemuas seks serdadu Jepang di Salatiga, Jawa
Tengah. Ia mengalami siksaan seksual yang traumanya Cumiat setiap kali harus
mengingat kekejian itu.
Dengan terbata ia mengatakan, ”Saya
disuntik 16 kali... saya tidak pernah bisa punya anak.... Jangan ada lagi yang
seperti saya ya.... jangan ada lagi yang seperti saya ... Jepang itu
kejam...Ogawa itu....”, Hingga saat ini, perlakuan tersebut mengakibatkan
kerusakan pada janinnya dan dirinya divonis tidak dapat memiliki keturunan
seumur hidup.
Tangisnya pecah. Ia terus
berbicara, terkesan meracau, seperti melepaskan timbunan luka jiwa yang tak
pernah bisa disembuhkan. Sukanti mengingatkan kepada perempuan sepuh, penyintas
dari Korea, yang berteriak, menangis, dan pingsan ketika bersaksi di depan para
jaksa Pengadilan Internasional Kejahatan Perang untuk Kasus Perbudakan Seksual
oleh Militer Jepang selama Perang Dunia II (The Tokyo Tribunal), 8 Desember
2000.
Paini
Paini yang sejak berumur 13 tahun
dipaksa bekerja di sebuah tangsi dekat desanya. Suatu malam ia dijemput paksa
oleh serdadu Jepang, dibawa ke tangsi, dan diperkosa berulang-ulang. Begitu
terus setiap malam. Begitu dalam trauma yang mereka alami sehingga kebanyakan
mantan jugun ianfu ini menyembunyikan identitas mereka dan menolak untuk
berbicara
Wainem
Wainem lahir di Jawa Tengah pada
1925. Dia diculik dari rumahnya pada 1943 ketika berusia 17 tahun dengan bus
dan dibawa ke markas tentara Jepang di Surakarta. Bersama sejumlah wanita lain,
dia disekap di markas tentara itu selama tiga tahun sebelum dipindah ke markas
lain di Jogjakarta selama dua tahun kemudian.
Dalam masa-masa kelam tersebut,
Wainem harus merajut tikar dan pada malamnya dipaksa melayani nafsu binatang
tentara Jepang. Pada hari-hari yang sulit, dia harus meladeni empat pria
sekaligus dalam satu malam. ”Beberapa mengajak saya ke kamar pribadi mereka.
Tapi, ada juga yang tanpa malu memerkosa saya di depan rekan-rekan mereka di
kasur barak,” ungkap Wainem.
Mastia
Mastia diambil paksa dari rumahnya oleh tentara jepang bersama 15 gadis lain dan diangkut ke markas tentara Cimahi. Seorang kapten Jepang menjadikan Mastia wanita penghibur pribadi. Setelah Mastia pulang kampung ia menjalani upacara penyucian religius untuk membersihkan segala "kotoran." Namun orang tetap memanggil saya "bekas jepang" dan menghina saya...sedih, saya sangat sedih, saya selalu teringat. Mastia menikah empat kali dan tidak mempunyai anak.
Ronasih
Pada saat Ronasih masih berumur 13
tahun dan sedang pulang sekolah, dia diculik seorang serdadu kemudian dikurung
di barak dekat desa. Secara sistematis ia diperkosa selama 3 bulan oleh serdadu
yang disebut "si bewok." Ayahnya berusaha datang dan menggantikan
ronasih sebagai tenaga kerja paksa, namun sia-sia. Ronasih akhirnya disuruh
pulang dengan keadaan tidak mampu berjalan lagi, dan harus merangkak untuk
pulang karena badannya sakit. beberapa kali nikah dan tidak dapat memiliki
keturunan.
Icih
Setelah suami pertamanya tewas
ditembak oleh tentara Jepang, ia menjadi janda muda yang dipekerjakan di
sekitar barak. Selanjutnya dia dikurung, diperkosa dan dipukuli hinga babak
belur hampir setiap hari selama tiga tahun. Setelah perang usai, ia pulang
kerumah dalam keadaan sakit, tidak bisa berjalan bahkan tak mampu mengucapkan
namanya sendiri. Selama di kurung Icih mengalami luka berkelanjutan dan
rahimnya rusak yang mengakibatkan dia tidak bisa melahirkan anak.
Refernsi gambar : [klik]
0 Comments: