SERBA SEPUH - Phoolan Devi adalah kegeraman. Lahir dan tumbuh dalam impitan siksa dan hina. Pemerkosaan menjadi santapan hariannya. Se...


SERBA SEPUH - Phoolan Devi adalah kegeraman. Lahir dan tumbuh dalam impitan siksa dan hina. Pemerkosaan menjadi santapan hariannya. Sebelum menemukan cinta sejati dalam diri seorang bandit, hanya satu hal yang mengisi pikirannya: balas dendam! Negara mengejarnya sebagai penyamun dan pembunuh beringas. Tapi, rakyat jelata memandangnya sebagai simbol perlawanan kaum miskin. Bagi mereka, Phoolan Devi tak ubahnya Robin Hood,"pahlawan" dari hutan Sherwood itu.

Lebih dari separuh India seperti tenggelam dalam duka. Phoolan Devi, "Ratu Bandit" idola kaum papa India, tewas mengenaskan Rabu dua pekan lalu. Sejumlah pria bertopeng menghujani tubuh Phoolan Devi dengan peluru di depan rumahnya di New Delhi. Siang itu, anggota parlemen India dari Partai Samajwadi ini baru saja pulang mengikuti sidang di parlemen India.

Usai menuntaskan niatnya, para penyerang itu kabur dengan menumpang sebuah mobil. Para pengawal Phoolan sempat melancarkan tembakan balasan. Luput. Para pria bertopeng itu menghilang dalam sekejap. Setelah baku tembak itu, Phoolan ditemukan terkapar dengan tiga peluru menembus kepalanya. Dua peluru lagi bersarang di bagian lain tubuhnya.


Para pengawal segera melarikan Phoolan ke rumah sakit. Sayang, di tengah perjalanan, napas Devi keburu putus. "Bandit Cantik" yang pernah hidup dalam lindungan senjata api itu akhirnya tewas oleh senjata api pula. Kematian "Sang Ratu" Phoolan ini disambut amarah oleh para pendukungnya di sekujur "negeri Taj Mahal" itu.

Kaum jelata India menuduh pemerintah tak cukup cakap melindungi pahlawan mereka. Di kota Kalkuta, India Timur, ribuan orang melakukan aksi turun ke jalan. Sambil meneriakkan yel-yel "Hidup Phoolan Devi!", mereka membakar boneka Atal Bihari Vajpayee, Perdana Menteri India. Polisi pun segera menggelar operasi khusus untuk mem- buru pelaku penembakan.

Operasi perburuan itu tak memerlukan waktu lama. Dalam dua hari, salah seorang pelaku menyerahkan diri kepada polisi di kota Dehradun, India Utara. Sher Singh Rana, si pelaku itu, ketika diinterogasi mengaku sama sekali tak menyesali perbuatannya. Ia menembak Phoolan Devi dengan enam peluru. Menurut Sher Singh Rana, penembakan itu ia lakukan sebagai aksi balas dendam.


Sher Singh Rana mengaku dendam atas peristiwa pembantaian 22 pria kasta atas di Desa Behmai, Uttar Pradesh, India Utara, pada 1981. Secara resmi, Phoolan Devi merupakan tertuduh utama yang dipandang menjadi otak peristiwa pembantaian itu. "Saya bangga atas tindakan saya ini," kata Rana. "Niat membunuh Phoolan sudah lama tertanam dalam pikiran saya."

Puspa, Devi yang Terlahir Papa
Phoolan Devi lahir 38 tahun lalu di Desa Ghura Ka Purwa di tepi Sungai Yamuna, Uttar Pradesh. Ia tak tahu persis tanggal kelahiran- nya. "Bahkan ayah-ibu saya tak tahu tanggal kelahiran saya," katanya. Tapi, menurut cerita orangtuanya, Phoolan lahir pada hari festival bunga di India. Itu sebabnya, ia diberi nama "Phoolan", yang artinya bunga, alias puspa.

Phoolan, yang berkulit gelap dan tak bisa membaca-menulis, terlahir dalam "rangkulan" kasta mallah -subkasta sudra. Ayahnya, Devidin, adalah petani miskin yang hidupnya bergantung pada para tuan tanah. Sedangkan ibunya, Moola, tergolong wanita "bernasib buruk" karena melahirkan empat bayi perempuan. Di India Utara, bayi wanita adalah beban yang tak diinginkan.

Phoolan adalah putri kedua, setelah si sulung Rukmini. Ia punya adik perempuan bernama Ramkali, yang dipanggil Choti -si mungil. "Nasib baik" sempat menghampiri keluarga Devidin ketika Moola melahirkan bayi laki-laki, Shiv Narayan. Namun, "bencana" datang lagi ketika lahir bayi perempuan berikutnya, Bhuri. Belakangan, karena tak dikehendaki, Bhuri ditelantarkan begitu saja.


Sejak kanak-kanak, Phoolan Devi telah terobsesi untuk mencari Tuhan. Keinginan bertemu Tuhan itu dituturkan Phoolan dalam otobiografinya, I, Phoolan Devi: The Autobiography of India's Bandit Queen, yang diterbitkan Warner Book pada 1996. "Aku ingin mencari Tuhan untuk bertanya," katanya. Apa yang ingin ditanyakan Phoolan kecil pada Tuhan?

Menurut Phoolan, ia ingin bertanya mengapa keluarganya miskin, sementara orang lain hidup berkelimpahan. Mengapa anak-anak kasta mallah harus bekerja keras pada orang lain, hanya untuk imbalan sesuap nasi? Mengapa kaum mallah boleh dipukuli golongan thakur, kasta kaya pemilik tanah-tanah luas. Phoolan dan saudara-saudaranya selalu menjadi sasaran gebukan dan hinaan Bihari, pamannya.


Walau seorang mallah, Bihari, saudara tiri ayah Phoolan, sangat serakah. Ia merampas semua warisan Devidin, termasuk tanah seluas tujuh hektare. Menurut Phoolan, jika ia melintas di depan rumah Bihari, pamannya itu selalu menangkap dan menggebukinya dengan tong- kat kayu. "Aku selalu membayangkan, suatu hari nanti ganti memukul Paman... di kepalanya," Phoolan mengenang.

Setahun Pernikahan Jahanam
Walau miskin, harga diri tertanam kuat dalam hati Phoolan. Meski masih bocah, ia sudah punya kesadaran untuk mempertahankan hak, keadilan, dan keselamatan dirinya. Nasihat Moola, sang ibu, selalu dipegang Phoolan erat-erat. "Berdiri tegak! Banggalah pada dirimu sendiri!" kata Moola selalu. "Kalau seseorang memukulmu, balaslah. Kalau tidak, akulah yang akan memukulmu."

Tak mengherankan, sejak kecil, Phoolan selalu menolak tunduk pada peraturan, sistem, dan orang yang dianggapnya korup dan tak adil. Phoolan kecil bahkan berani mempertaruhkan hidupnya demi kebenaran dan keadilan. Ketika berusia sembilan tahun, misalnya, ia berusaha melawan Mayadin, sepupunya, yang menebang tanpa izin pohon milik keluarga Phoolan.


Kayu pohon itu, menurut rencana, akan dijual untuk biaya pernikahan Phoolan. Dengan kemarahan yang luar biasa, Phoolan kecil berani mengejar pedati yang mengangkut kayu curian itu. "Hei, kau penipu, kembalikan pohon kami," teriaknya pada Mayadin. Karena tak ditang- gapi, Phoolan nekat bergelantungan pada tali kekang sapi untuk menyerang Mayadin.

Akibatnya, tanpa ampun Mayadin memukuli Phoolan habis-habisan. Bah- kan, empat anak buah Mayadin pun ikut andil menyiksa Phoolan, yang akhirnya dilemparkan begitu saja dari pedati. Dengan air mata ber- cucuran, Phoolan cuma bisa menyaksikan Mayadin pergi membawa harta keluarganya yang paling berharga. "Tinggalkan kayu itu... itu milik ayahku."

Pada umur 11 tahun, Phoolan dinikahkan dengan seorang duda berusia 35 tahun, Putti Lal namanya. Pria berangasan ini berjanji tak akan menggauli Phoolan sebelum gadis itu memasuki masa akil balig. Tapi, janji tinggal janji. Phoolan yang masih sangat lugu dipaksa Putti Lal melayani nafsu biologisnya. Phoolan tak kuasa menolak, karena Putti Lal mengancam merobek perutnya dengan belati.


Phoolan kecil tak tahan menjalani pernikahan "jahanam" itu. Ia pun sering kabur. Setahun berlalu, Putti Lal merasa kesabarannya habis. Ia lalu "membuang" Phoolan, dan menikah lagi dengan wanita lain. Sejak itu, Phoolan beroleh "gelar" baru: wanita jalang, pelacur, dan segala macam sebutan buruk lainnya.

Pasukan Berkuda Phool Singh
Siksaan dan hinaan terus menjadi santapan harian keluarga Phoolan. Suatu siang, tiga tahun sejak perceraiannya dengan Putti Lal, Phoolan terlibat masalah dengan putri kepala desa. Phoolan memukuli putri kepala desa karena gadis itu melempar kepala ibunya dengan genting. Ayah si gadis, Sarpanch, tidak terima, dan mendera Phoolan dengan lathi-nya -tongkat kayu berujung besi.

Phoolan melawan. Pergulatan Phoolan melawan Sarpanch pun berlangsung heboh. Tak lama kemudian, beberapa pria anak buah Sarpanch ber- datangan. Mereka mengeroyok Phoolan hingga berlumuran darah. Beruntung, Phoolan akhirnya berhasil melarikan diri. Bersama seluruh anggota keluarganya, Phoolan mengunci diri di dalam rumah.

Beberapa hari kemudian, pada suatu malam buta, anak buah Sarpanch mendobrak rumah Phoolan untuk menuntaskan dendam. Di depan mata ayah-ibunya, Phoolan diperkosa beramai-ramai. "Aku mendengar Ayah menangis tersedu-sedu, memohon mereka menghentikan perbuatannya," katanya. Phoolan pun cuma bisa mengertakkan giginya dengan geram. Pada saat itulah bangkit niatnya: membalas dendam!


Siangnya, Phoolan bertemu Phool Singh, seorang thakur dari desa tetangga. Phoolan menceritakan semua penderitaannya. Phool Singh berjanji membalaskan sakit hatinya. Malam itu juga, Phool Singh dan pasukan berkudanya menyerbu rumah Sarpanch. Karena Sarpanch tak ada, Phool Singh mengancam istri Sarpanch. "Jangan sewenang-wenang pada wanita mallah kalau mau selamat."

Baru kali itulah Phoolan merasa begitu puas dan bahagia. Ia lari ke rumah Sarpanch dan berteriak, "Kamu mau berbuat jahat lagi?" Sar- panch keluar dan mengancam akan menembaknya. "Oh, kamu mau menem- bakku? Justru anakmulah yang akan kutembak!" kata Phoolan. Setelah itu, ia menuju ke rumah Mayadin. "Hei anjing keparat. Kamu harus membayar kami atau kucincang tubuhmu!"

Sejak kejadian itu, Phoolan mengaku bisa bernapas lega. Segala im- pitan derita yang ia tanggung selama bertahun-tahun seolah mulai mengendur. Phoolan pun akhirnya bisa keluar rumah tanpa menanggung rasa malu lagi. Bisa mandi di sungai kapan pun ia mau. Phoolan tak punya rasa takut lagi.

Vikram, Cinta Sejati
Mayadin, yang merasa terhina atas kejadian malam itu, menyebarkan gosip seram: Phoolan sudah menjadi dacoit -alias bandit- dan merampok rumahnya. Polisi pun menciduknya. Phoolan meringkuk di pen- jara selama sebulan, dan kenyang disiksa dan diperkosa. Kebanyakan polisi yang melakukan perbuatan keji itu adalah teman Mayadin.

Suatu sore di awal Juli 1979, Phoolan mendengar rumor: satu geng dacoit pimpinan Babu Gujar sedang berkemah di tepi Sungai Yamuna. Menjelang tengah malam, Phoolan mendengar langkah-langkah berat di luar rumahnya. Setelah itu, sejumlah lelaki memasuki rumahnya dengan membawa obor. Apa yang terjadi selanjutnya... tak jelas.


Phoolan pun tak menceritakan dengan gamblang. Yang jelas, malam itu Phoolan raib dari desanya. Mungkin ia diculik. Mungkin Mayadin mem- bayar para bandit untuk membawanya pergi. Mungkin juga Phoolan berusaha melindungi adik laki-lakinya yang diancam akan dibunuh. Atau mungkin: ia memang ingin kabur dari Ghura Ka Purwa.

Selama 72 jam selanjutnya, Phoolan diperlakukan secara brutal oleh Babu Gujar, yang berkasta thakur. Pada hari ketiga, Phoolan bersama kawanan dacoit itu, tangan kanan Babu Gujar, Vikram Mallah -dari kasta mallah- yang menaksir Phoolan, menembak bosnya. Setelah itu, Vikram pun menikahi Phoolan. Inilah cinta sejati pertama Phoolan.

Vikram mengajarkan banyak hal pada Phoolan, termasuk cara membunuh dengan senjata api. "Kalau kamu mau membunuh, bunuhlah sekaligus 20 orang, jangan cuma satu," kata Vikram. "Sebab, kalau kamu membunuh 20 orang, popularitasmu akan tersebar luas. Tapi, kalau kamu cuma membunuh seorang, kamu akan digantung sebagai pembunuh."

Pada tahun berikutnya, Vikram dan Phoolan memimpin gengnya, mendatangi satu demi satu pelaku kekejian atas diri Phoolan. Mereka menyiksa bahkan membunuh pria-pria thakur itu. Target pertama mereka adalah Putti Lal, mantan suami Phoolan. Selanjutnya, penduduk Desa Ghura Ka Purwa pun "menyerahkan" diri dalam perlindungan Phoolan.

Di Bawah Lindungan Durga
Aksi Phoolan dan gerombolannya terus berlanjut. Mereka merampok desa dan rumah orang-orang kaya dari kasta atas, mencegat kereta api, menculik, juga membunuh. Daerah operasi mereka meliputi kawasan Ut- tar Pradesh dan Madhya Pradesh. Dan, tiap operasi, yang dilancarkan atas desakan Phoolan, didahului dan diakhiri dengan kunjungan ke kuil untuk menghormat Dewi Durga -Dewi Kejahatan.

Naluri Phoolan selalu tepat. Dan ia berpikir, semua itu karena Dewi Durga membimbing dan melindunginya. Kebahagiaan perkawinan Vikram- Phoolan berakhir pada suatu malam, Agustus 1980. Ketika pasangan ini tengah lelap tidur, terdengar rentetan letusan senjata. Vikram tertembak, dan tewas di pangkuan Phoolan.


Pembunuhnya ternyata kakak-beradik Sri Ram dan Lala Ram, yang beberapa hari sebelumnya dibebaskan Vikram dari penjara, dan bergabung dengan geng mereka. Motifnya jelas: balas dendam atas kematian Babu Gujar dan ganjaran atas pengangkatan Vikram, yang berkasta rendah, sebagai pemimpin geng.

Phoolan mengaku tak pernah sembuh dari duka akibat kematian Vikram, dan menolak menceritakan kejadian selanjutnya. Tapi, para saksi mengatakan, Sri Ram dan Lala Ram mengurungnya selama tiga pekan di sebuah rumah kecil yang kotor dan gelap. Tiap malam, sejumlah pria bergiliran memerkosanya, sampai ia semaput.

Pada hari ke-23, Phoolan ditelanjangi, kedua tangannya diikat dengan tali, dan diarak berkeliling Desa Behmai. Phoolan akhirnya dis- elamatkan seorang pendeta, Santosh Pandit, yang membawanya kabur dengan pedati. Tak lama kemudian, dengan bantuan teman banditnya, Man Singh, Phoolan membentuk geng baru.

Pada Hari Kasih Sayang, 14 Februari 1981, penduduk Desa Behmai melihat segerombolan orang -jumlahnya sekitar 20- berseragam polisi datang ke desa mereka. Geng itu dipimpin seorang wanita muda nan mungil. Di bahu gadis itu tersandang senjata laras panjang. Puluhan peluru "berbaris" rapi, menyilang dadanya.

Pembantaian di Tepi Yamuna
Lewat megafon, gadis itu berkata lantang: "Kalian semua, dengarkan aku. Jika kalian masih menyayangi nyawa kalian, serahkan semua uang, perak, dan emas yang kalian punya! Dengarkan lagi! Aku tahu Sri Ram dan Lala Ram bersembunyi di desa ini. Jika kalian tak menyerahkan mereka, akan kubunuh kalian semua! Ini Phoolan Devi. Jai Durga Mata! (Hidup Durga, Bunda Dewi!)."


Setelah mencari sekitar 30 menit, mereka gagal menemukan Sri Ram dan Lala Ram. Semua penduduk desa mengaku tak pernah melihat dua pria itu. Gadis itu kesal, dan menyuruh anak buahnya mengumpulkan semua pemuda desa itu. Ia meludahi mereka dan mengancam akan memanggang semuanya hidup-hidup jika tak mengaku. Tapi, jawaban mereka tetap sama.

Akhirnya, para pemuda itu digiring ke tepi Sungai Yamuna, disuruh berlutut dengan wajah mencium tanah. Selanjutnya, letusan senjata menggema di udara Behmai. Para pemuda itu bergeletakan di tanah. Sebanyak 22 orang tewas seketika. Phoolan Devi pun kontan dituduh sebagai pelaku pembantaian itu. Tapi, ia tak pernah mengakui per- buatan itu.

Pada 12 Februari 1983, Phoolan, yang dikenal dengan sebutan "Bandit Cantik", "Dewi Bunga", dan "Ratu Bandit", menyerahkan diri kepada polisi di Distrik Bindh, bersama 12 anak buahnya. Sebelum dibawa ke penjara, Phoolan, didampingi keluarga dan anggota gengnya, tampil di podium dan memberi salam kepada 8.000-an pendukungnya.

"Sebetulnya, aku tak tahu benar apa artinya menyerah, juga berkompromi," katanya. Phoolan akhirnya dijatuhi hukuman 11 tahun penjara dengan sederet tuduhan. "Aku tak pernah mengatakan diriku baik, tapi aku bukan penjahat. Yang kulakukan cuma membuat laki-laki menderita, sama seperti ketika mereka membuatku menderita." Sekian


SERBA SEPUH - Makin banyak putri mantan juara tinju dunia meneruskan jejak ayahnya. Sebagian menyimpan dendam, melepas bisnis pengacar...


SERBA SEPUH - Makin banyak putri mantan juara tinju dunia meneruskan jejak ayahnya. Sebagian menyimpan dendam, melepas bisnis pengacara dan kecantikan. Ada yang harus menempuh jalur nekat: berbugil-ria di majalah Playboy. Tapi, dibandingkan dengan para petinju pria, bayaran mereka sangat tak imbang. Don King dan Bob Arum mulai turun tangan.

Selembar cek bernilai US$ 15.000 disodorkan George Foreman kepada putrinya, Freeda George Foreman, dua tahun silam. "Cairkan cek ini, lalu urungkan niatmu," kata petinju gaek dengan perawakan setengah gergasi itu, dengan wajah bersungguh-sungguh. Tampaknya, mantan juara dunia kelas berat yang pernah naik mimbar gereja itu tak mau dibantah. Freeda menerima cek itu. Namun, ia tak pernah punya keinginan menguangkannya --bahkan sampai sekarang!

Di benak Freeda, keputusannya untuk tampil di arena tinju wanita sudah bulat. Ada satu nama yang senantiasa menggoda mimpinya: Laila Ali. Apalagi setelah ia menyaksikan pertarungan Laila melawan April Fowler di layar televisi. Tetapi, sesungguhnya, bukan pertandingan itu sendiri yang merisaukan Freeda. Melainkan ini: di belakang nama Laila tercantum sebuah "legenda" dunia tinju yang seakan tak pernah berakhir, Ali! Lalu mengapa dia, Freeda, tak berhak membuktikan loyalitasnya pada klan Foreman, yang juga tak boleh diremehkan?

Freeda lahir tiga tahun setelah "Rumble in the Jungle". Itulah judul pertarungan "historis" antara ayahnya dan Muhammad Ali, yang digelar di Zaire, pada 1974. Dalam pertarungan itu, George Foreman kalah. Ketika Freeda lahir, "Big George" --demikian panggilan akrab Foreman-- sebenarnya sudah menghindar dari gemuruh ring boxing, dan sedang asyik menikmati kegiatan barunya sebagai pendeta, bahkan mencoba melupakan masa lalunya. Namun, dalam anggapan Freeda, masa lalu itu justru penting diluruskan.

Diam-diam, rupanya, kekalahan sang ayah membuhulkan "dendam" tersembunyi di hati Freeda, anak ketiga dari 10 bersaudara keluarga Foreman. Darah petarung warisan sang ayah seperti mengalir lebih deras di dalam diri perempuan ini, ketimbang para saudaranya yang laki-laki. Maka, pada Februari 2000, di usia 23 tahun, Freeda memutuskan mundur dari posisi customer relations di UPS, sebuah perusahaan pengiriman barang di Greenville, South Carolina, Amerika Serikat. Setelan baju kantornya kemudian berganti celana pendek dan kaus tanpa lengan.

Di "kantor"-nya yang baru, sebuah gimnasium di dekat rumahnya, Freeda memasuki dunia spartan. Tidak ada pengatur suhu dan pengharum ruangan. Bahkan hampir tak ada waktu senggang. Di bawah pengawasan pelatih Larry Goossen, Freeda mulai mempersiapkan pertandingan perdananya, yang dijadwalkan berlangsung pada awal April 2000. Tetapi, dengan alasan kesehatan, Freeda membatalkan pertandingan itu pada 30 Maret.

Akhirnya, pada 18 Juni 2000, Freeda memulai perjalanan kariernya sebagai petinju wanita profesional. Dia, yang memilih turun di kelas menengah, berhadapan dengan LaQuanda Landers, petinju wanita asal Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat. Buat LaQuanda, pertandingan tersebut juga merupakan debutnya. Partai ini dimainkan di Las Vegas, Nevada, yang termasyhur sebagai kota judi dan tinju. LaQuanda hanya bisa bertahan dua ronde. Kini Freeda, perempuan dengan tinggi 160 sentimeter itu, sudah mencatat rekor bertanding 5-0-0, dengan tiga kali kemenangan KO --plus dendam, barangkali.

Impian Menaklukkan Legenda

Dendam, rupanya, bukan monopoli Freeda George Foreman seorang. Ia juga merasuk di dalam diri Jacqueline Frazier-Lyde. Putri Joe Frazier, juara dunia kelas berat WBC/WBA 1970-1973, ini juga ingin menyamakan skor pertarungan antara klan Ali dan Frazier. Dua dari tiga pertarungan Ali-Frazier, pada 1970-an --satu di antaranya diberi label "Thrills in Manila"-- adalah milik klan Ali. Seperti halnya Freeda, dendam "Jacqui" --panggilan akrab Jacqueline Frazier-Lyde-- juga bangkit ketika ia menonton partai berat sebelah antara Laila Ali dan April Fowler.

Demi membela klan Frazier, Jacqui rela melepas statusnya sebagai pengacara, dan keluar dari Kantor Biro Hukum Frazier-Lyde & Associates, kantor yang berada tepat di atas gimnasium milik ayahnya. Jacqui meraih gelar sarjana hukum dari American University, dengan beasiswa yang diperolehnya dari cabang olahraga bola basket. Walau cukup tua untuk ukuran pemula --Jacqui memulai karier tinjunya pada usia 38 tahun, usia ketika ayahnya memutuskan menggantung sarung tinju-- ibu tiga anak ini tetap giat berlatih.

Pada pertandingan perdananya melawan Teela Reese, 6 Februari 2000, Jacqui menang TKO. Kini, ia mengantongi rekor 8-1-0, tanpa satu pun kemenangan dengan angka! Jacqui dan Freeda kemudian bagaikan bergandengan tangan mengejar impian yang sama: menaklukkan Laila Ali. Dalam setiap wawancara dengan pers, Freeda dan Jacqui kerap menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan tantangan mereka kepada Laila. "Ini bukan soal balas dendam, melainkan kesempatan," kata Freeda.

Laila sendiri menanggapi kampanye Freeda dan Jacqui dengan dingin. Jauh berbeda dengan gaya "agitasi" ayahnya dulu, yang sudah pasti memberi tanggapan gemuruh lewat mulut besarnya. Kubu Laila hanya menanggapi dengan tawar --namun tak kalah tajam-- melalui pernyataan, "Kami tidak akan melayaninya sebelum mereka menjadi petinju profesional." Tapi, akhirnya, kubu Laila memberi kesempatan pada Jacqui. Pertandingan itu berlangsung pada 6 Juni 2001, dan dijual dengan kemasan menawan berjudul "Ali-Frazier 4: The Next Generation".

Dengan mengeksploitasi nama kedua mantan juara dunia kelas berat itu, pertandingan sukses besar. Sekitar 6.000 penonton yang memadati Turning Stone Casino, di Verona, New York, sibuk meneriakkan nama Ali dan Frazier, ketimbang nama Laila dan Jacqui. Namun, faktor usia ternyata berpengaruh dalam partai itu. Jacqui kalah angka mutlak dari Laila. Sekarang tinggallah Freeda yang harus membuktikan sesumbarnya.

Begitu hebatkah Laila sehingga mampu membuat Freeda dan Jacqui berpaling dari kehidupan normalnya? Dari sisi teknik, barangkali Laila tak cukup punya modal untuk dengan mudah menaklukkan Freeda dan Jacqui. Sebab, pada saat ini, setidaknya ada selusin petinju andal yang siap bertarung dengan keduanya. Tapi, itu tadi, "marga" Laila-lah yang paling banyak memegang peranan. Impian untuk menumbangkan sebuah "legenda" seperti menjadi daya tarik luar biasa, juga bagi para petinju perempuan.

Tawon Wanita Penyengat

Laila lahir di Los Angeles, California, pada 30 Desember 1977, dari pasangan Muhammad Ali dan Veronica. Tapi, anak ini kemudian lebih banyak menghabiskan masa remaja, dan keinginannya untuk terjun ke arena tinju profesional, bersama Lonnie Ali, istri ketiga Muhammad Ali. Seperti terjadi pada Freeda George Foreman, Laila juga mendapat tentangan keras dari ayahnya. "Ayah baru tahu saya jadi petinju setelah naik ring," kata Laila. Walau begitu, Ali tetap menghadiri pertandingan perdana Laila.

Keinginan Laila untuk menggunakan sarung tinju muncul ketika ia berusia 21 tahun. Itu pun tanpa tujuan tampil di arena profesional --tapi semata-mata untuk menurunkan berat badannya. Barulah enam tahun lalu, setelah menyaksikan penampilan petinju perempuan Christy Martin di televisi, Laila berpikir untuk menangguk uang dari arena tinju profesional. Setahun kemudian, ia baru serius menjalani latihan.

Tanpa berpikir panjang, ia melepas bisnis perawatan kuku miliknya di Los Angeles. Di bawah gemblengan John McClain, yang juga kekasihnya, bakat titisan ayahnya makin kelihatan. Apalagi didukung oleh postur tubuhnya: tinggi 176 sentimeter dan berat 76 kilogram. Debut Laila dimulai pada 8 Oktober 1999, dalam pertarungan melawan April Fowler di Turning Stone Casino Convention Center, Verona, New York. Laila bertarung dengan baik, dan mengalahkan April dengan kemenangan KO di detik ke-31 ronde pertama.

Dua pertandingan Laila berikutnya juga dilewatinya dengan mulus. Masing-masing melawan Shadina Pennybaker, 12 November, dan Nicolyn Armstrong, 10 Desember 1999. Kedua lawannya itu dihabisi dalam waktu relatif singkat, sehingga Laila sempat mendapat julukan "The Quickest". Tentu saja Laila, yang juga dijuluki "Tawon Wanita Penyengat" itu, makin percaya diri. Tapi, yang paling penting, ayahnya akhirnya merestui pilihan karier anak kedelapan dari sembilan bersaudara itu. Restu ini pula yang makin melonjakkan nama Laila, yang kemudian membukukan kemenangan demi kemenangan.

Sayangnya, Laila tidak mewarisi seluruh kehebatan ayahnya. Gaya "rope a dope" (bergelayutan pada tali ring seraya bertahan dan memukul), yang menjadi ciri khas Ali, tidak terlihat dalam permainan Laila. Tapi, ketika dia menunggu bangunnya April dari kanvas, dengan tangan menggantung sambil menatap lawan, banyak orang membandingkannya dengan gaya Ali ketika menunggu bangkitnya Sonny Liston. Kini, Laila yang bertarung di kelas menengah super berada di peringkat keempat IWBF (International Women Boxer Federation), peringkat ketiga IFBA (International Female Boxer Association), dan peringkat ketiga WIBA (Women International Boxing Association).

Laila mencatat rekor kemenangan 10-0-0, dengan delapan kemenangan KO. Catatan itu termasuk kemenangannya atas Jacqueline Frazier-Lyde. Tapi, Laila juga tak bisa melenggang kangkung: di sekitar ketiga putri juara dunia itu, kini bertebaran pula nama sejumlah putri juara tindju lainnya yang tak bisa diremehkan. Sebutlah Maria Johansson, JMarie Moore, Eliza Olson, dan Irichelle Duran. Sayangnya, kecuali Eliza Olson, tidak semua petinju perempuan itu meneruskan kariernya.

Dewa Penyembur Guntur

Maria Johansson, misalnya. Putri Ingemar "Ingo" Johansson, mantan juara kelas berat (1959) --Ingemar mengalahkan Floyd Patterson ketika merebut gelarnya-- itu hanya tercatat melakukan dua pertandingan. Padahal, ketika keinginan Maria tercium pers, bayangan kehebatan Ingemar kembali dilekatkan kepadanya. Bahkan pers sempat menjuluki Maria "Daughter of Thor". Ingemar sempat mendapat label "Thor" --dewa dalam mitologi bangsa Viking yang bisa menyemburkan guntur dari martilnya-- ketika bertanding melawan Floyd Patterson. Di ronde ketiga, Patterson tujuh kali tersungkur.

Kekalahan pertama Maria dialaminya justru pada pertarungan debutnya melawan Karrie Frye, petinju asal LaPorte, Indiana, Amerika Serikat, pada 18 Juni 2000. Untung hanya kalah angka. Pertandingan yang dilangsungkan di Regent, Las Vegas, itu merupakan partai tambahan dari pergelaran Hector Camacho Jr. melawan Manard Reed. Pada pertandingan kedua, 21 Juli 2000, melawan Karen Bill, Maria mencium kanvas dan kalah TKO di ronde kedua. Sejak itu, ia tidak lagi menampakkan batang hidungnya di arena tinju kelas berat ringan.

Faktor usia boleh jadi adalah penghalang utama Maria: ia memulai karier bertinjunya pada usia 34 tahun. Padahal, bakat adu jotos Maria sudah terlihat sejak muda. Penampilannya tomboi, dan semua cabang olahraga populer yang dimainkan pria juga diminatinya. "Ia sering mengalahkan banyak laki-laki di berbagai jenis olahraga," kata abangnya, Patrick Johansson. Motivasi ibu dua anak itu terbangun setelah ia menyaksikan rekaman pertandingan ayahnya.

"Saya sudah melihat semua pertandingannya. Ia adalah pahlawanku," katanya. Ingemar sendiri sebenarnya khawatir akan pilihan putrinya itu. Namun, pada saat yang sama, ia menyadari bahwa "gen" adu jotos, yang mengalir di tubuh Maria, tak bisa dihindari. Karena itu, yang bisa dilakukan Ingemar hanyalah memberi tips. "Kedua tanganmu harus selalu di atas, dan kepalamu harus menunduk," kata Ingemar. Sayangnya, tips itu hanya dua kali dipraktekkan Maria.

J'Marie Moore, putri Archie Moore, juara kelas berat ringan pada 1952-1957 dan 1961, juga tak terlalu mengilap di arena tinju. Padahal, J'Marie adalah pembuka jalan bagi rombongan anak juara dunia tinju itu. Seperti Maria, J'Marie pun hanya sempat melakukan dua pertarungan. Bedanya, JMarie merasakan kemenangan di dua pertarungan itu. Debut J'Marie dimulai pada 27 Juni 1997, di Tropicana Casino Resort di Atlantic City, ketika ia berhadapan dengan Greta Daniels.

Dalam partai itu, J'Marie menang angka. Dalam pertarungan keduanya, melawan Anita Wells, JMarie menang TKO. Partai kedua ini sendiri berjarak hampir tiga tahun dari debutnya. Tapi sekaligus menjadi akhir kariernya. Sementara itu, dari Panama muncul nama Irichelle Duran. Ia adalah putri Roberto Duran, petinju yang sukses menjadi juara di empat kelas: ringan WBA (1972-1979), welter WBC (1980), menengah junior WBA (1983), dan menengah WBC (1989). Debut profesionalnya di kelas bantam dimulai pada 4 Agustus 2000.

Tidak Ada Intuisi Membunuh

Namun, dalam partai melawan Geraldine Iglesias itu, Irichelle harus mengakui keunggulan lawannya. Ia kalah angka. Pada pertarungan keduanya, Oktober 2000, melawan Marilyn Hernandez, Irichelle berhasil mengungguli lawannya dengan TKO pada ronde ketiga. Setelah mengalahkan Marilyn, Irichelle mendapat pelukan dari Roberto Duran. "Sekarang ia merestui pilihan karier saya," kata Irichelle. Tapi, seperti Maria, partai keduanya itu sekaligus menjadi akhir kariernya.

Lain halnya dengan Eliza Olson, cucu Carl "BoBo" Olson, mantan juara dunia kelas menengah (1952-1954). BoBo sendiri pensiun pada 1966 dengan statistik 99-16-2, dengan 49 kemenangan KO. Ia meninggal pada usia 72 tahun,16 Januari lalu. Dengan dikawal manajer Don Chargin dan pelatih Freddie Roach, satu di antara pelatih tinju terbaik masa ini-- Eliza ikut mencoba peruntungan di arena tinju wanita. Dalam debutnya, 3 Maret 2000, Eliza menang angka atas Debbie Foster. Kemenangan terakhir diraih Eliza pada 19 Desember 2001, setelah meng-KO Reyna Soriano.

Kini, Eliza mengantongi rekor 5-1-0, dengan tiga kali kemenangan KO, dan berada di peringkat ke-11 kelas welter IWBA. Satu-satunya kekalahan dialami Eliza saat berhadapan dengan Gloria Ramirez pada Januari 2001. Dengan beberapa catatan itu saja, para petinju perempuan memang sudah mendapatkan haknya untuk berlaga di atas ring. Beberapa pertandingan tinju wanita bahkan dijadikan sebagai partai tambahan dalam partai besar seperti Mike Tyson melawan Frank Bruno.

Tapi, dari sisi bayaran, perbedaan antara partai tinju wanita dan petinju pria bagaikan bumi dan langit. Coba bandingkan: seorang petinju "culun" yang dihadapkan pada Mike Tyson bisa mendapat honor ratusan ribu sampai jutaan dolar. Ketika Mike Tyson berhadapan dengan Frank Bruno, misalnya, si leher beton itu mendapat honor US$ 30 juta, sedangkan lawannya mendapat US$ 6 juta. Lain ceritanya dengan petinju wanita.

Bahkan dalam sebuah partai besar, dalam konteks promosi, seorang petinju wanita tidak dibayar dengan angka ratusan ribu dolar. Angka bayaran tertinggi yang pernah dicatat dalam sejarah tinju wanita hanya sekitar US$ 25.000. Dalam partai Jacqui-Teela, misalnya, putri Joe Frazier itu cuma mendapat US$ 25.000. Teela cuma dibayar US$ 800. Ketika berhadapan dengan Nicolyn Armstrong, Laila Ali mendapat US$ 25.000, sedangkan Nicolyn hanya kebagian US$ 5.000. Dalam partai debutnya, Freeda Foreman cuma dibayar US$ 15.000.

Di luar petinju dengan nama keluarga yang terkenal, honornya bahkan tidak mendekati jumlah yang didapat Jacqui atau Laila. Honor tertinggi Christy "Coal Miner's Daughter" Martin, misalnya, hanya US$ 15.000. Kecilnya honor petinju wanita ini punya kaitan erat dengan citra olahraga itu sendiri. Selama ini, tinju lekat dengan segala macam hal yang berhubungan dengan kesan macho, teknik tinggi, dan kadang: intuisi untuk membunuh. Nah, inilah yang tidak didapat penonton dalam pertandingan tinju wanita.

Memajang Tubuh di Majalah Playboy

Dengan nada berseloroh, promotor Bob Arum pernah menjelaskan mengapa masih ada penonton yang menyaksikan partai tinju wanita --dengan nada miring. "Bokong mereka enak dilihat," katanya. Hanya itukah yang diperoleh para petinju wanita? Tidak juga. Liputan tentang mereka di berbagai media internasional punya nilai tak kalah penting. Menjelang pertandingan Laila-Jacqui, misalnya, tampang kedua petinju itu menghiasi TV Guide, majalah terlaris di Amerika Serikat. Laila juga mendapat liputan khusus dari majalah People ketika melangsungkan pernikahannya.

Betul, sepertinya keuntungan materiil dan popularitas memang dirasakan oleh petinju "berdarah biru" itu. Padahal, puluhan petinju yang lebih hebat di luar rombongan itu harus melakukan segala cara untuk mendapat perhatian publik. Lihat saja yang dilakukan Mia St. John. Petinju kelas bantam ini sampai rela memamerkan kemolekan tubuhnya di majalah Playboy. Tapi, kemungkinan besar, honor itu akan segera merangkak naik.


Pasalnya, Christy Martin dan Mia St. John berniat menantang Laila Ali. Memang, dari sisi kelas, kedua petinju itu harus menambah berat badan mereka. Christy dan Mia bukan petinju sembarangan. Rekor pertarungan mereka jauh lebih banyak dibandingkan dengan Laila. Christy Martin mencatat rekor 44-2-2 (31 di antaranya dengan KO). Sementara Mia sudah menjalani 13 kali pertarungan. Apalagi promotor beken seperti Don King (Christy dan Mia St. John ada di bawah kendalinya) dan Bob Arum sudah mulai ikut cawe-cawe di tinju wanita setelah belajar dari sukses partai Jacqui-Laila. Buat Laila sendiri, partai itu, kalau memang jadi digelar, merupakan kesempatan untuk membuktikan bahwa ia tak hanya mewarisi gen bertarung ayahnya. Julukan "The Greatest" bisa jadi juga menjadi miliknya. Sekian.

SERBA SEPUH - Artikel ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya Yakuza : Geng Kriminal Sepatuh Samurai , agar ceritanya tidak pars...


SERBA SEPUH - Artikel ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya Yakuza : Geng Kriminal Sepatuh Samurai, agar ceritanya tidak parsial silahkan baca dahulu tulisan pertama.

Legenda dan tradisi machi yakko diwariskan generasi "rakyat kecil pemberani" berikutnya. Di antaranya adalah anggota pemadam kebakaran Jepang zaman dulu. Mereka adalah orang-orang pemberani dan pemarah yang biasanya bekerja sebagai pekerja konstruksi sekaligus anggota pemadam kebakaran sukarela. Pahlawan jelata lainnya termasuk detektif, pemimpin geng buruh, pemain sumo, serta anggota sindikat kejahatan Jepang abad ke-18.

Bakuto (penjudi) dan tekiya (pedagang keliling) pada yakuza terdahulu baru muncul sekitar 100 tahun setelah kematian Chobe Banzuiin. Mereka muncul di tengah-tngah masyarakat yang masih diikat hukum feodal kaum shogun. Mereka adalah anggota dunia hitam zaman Pertengahan yang kreatif dan dianggap sebagai leluhur yakuza modern sesungguhnya. Kedua kelompok tersebut memiliki kebiasaan yang sangat berbeda sehingga polisi Jepang masa kini masih sering mengategorikan anggota yakuza sebagai bakuto dan tekiya.

Anggota bakuto dan tekiya kebanyakan berasal dari golongan yang biasa ditemukan dalam masyarakat mana pun: orang miskin, orang-orang yang tak punya lahan sendiri, pelanggar hukum, dan orang yang dianggap berbeda oleh kaum mayoritas. Uniknya, setiap kelompok hanya menjaga wilayahnya masing-masing sedemikian rupa sehingga mereka dapat beroperasi dalam wilayah kecil yang sama tanpa menimbulkan konflik. Bakuta beroperasi di sepanjang jalan raya yang ramai dan kota-kota kecil, sedangkan tekiya di tengah-tengah pasar dan pekan raya yang sedang berkembang.

Tokoh gengster yang amat terkenal di masa ini adalah Shimizu no Jirocho alias Jirocho dari Shimizu. Masa keemasan Jirocho bertepatan dengan masa-masa pergolakan pada pertengahan abad ke-19. Saat itu, kekuasaan Tokugawa mulai menurun karena diperlemah oleh serangan dari berbagai sisi. [Tekanan dari dalam diperberat dengan tuntutan agar Jepang membuka pintu bagi Barat. Pemberontakan para petani berulang kali terjadi dan kekaisaran di Kyoto yang kekuasaannya di Jepang meningkat pun menaruh kebencian.]

Ada gerakan yang sangat besar mengumpulkan kekuatan guna mengembalikan posisi kaisar sebagai kepala negara yang sebenarnya. Di antara para pendukung gerakan ini terdapat orang-orang yang berharap Jepang tetap tertutup bagi orang asing. Sebab, shogun telah tunduk pada permintaan Komodor Perry pada 1854 dan secara bertahap membuka pelabuhan-pelabuhan Jepangh bagi Barat.

Inilah babak akhir masa Tokugawa, akhir dari feodalisme yang panjang. Sebagaimana banyak yakuza lain pada masa chaos, Jirocho mengambil sikap. Ia memberikan dukungan guna menempatkan kaisar sebagai penguasa mutlak kepulauan Jepang. Motivasi Jirocho tidak bersifat ideologis. Sebagai penjudi, bakuto hanya mempertaruhkan harapan agar bisa mendapat keuntungan politis dari pihak yang menang.

Pertaruhan Jirocho rupanya keputusan yang bijak, karena kemudian semua kejahatannya di masa lalu diampuni dan ia menjadi orang yang berkuasa dalam komunitasnya. Sang bos bakuto melakukan peningkatan dalam bidang pertanian, penangkapan ikan, dan pengembangan kota Shimizu.

Jirocho wafat pada 1893 ketika berusia 73 tahun. Hingga sekarang, ribuan orang masih mengunjungi makamnya setiap tahun. Ia dimakamkan bersama para pengikutnya di kuil setempat. Legenda Shimizu no Jirocho kurang lebih menunjukkan bagaimana yakuza paling terkenal di Jepang digambarkan dalam begitu banyak balada dan legenda selama bertahun-tahun.


Yakuza Berubah Seiring Modernisasi
Ketika Jepang mengalami modernisasi, yakuza turut memperluas aktivitas mereka sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Geng yakuza memperoleh pijakan dalam mengorganisasi pekerja lepas untuk pekerjaan konstruksi di kota-kota besar dan merekrut kuli pelabuhan guna melayani bisnis yang sedang berkembang pesat di pelabuhan. Kecuali itu, dengan diperkenalkannya roda besi, dunia hitam Jepang turut mempengaruhi pengelolaan jenis kereta baru yang disebut becak--pada 1900 jumlahnya mencapai 50.000 unit di Tokyo.

Perjudian masih menjadi pusat kehidupan geng-geng bakuto. Tekiya juga mempertahankan mata pencarian tradisional mereka, yaitu kios pinggir jalan. Selain itu, geng-geng bakuto dan tekiya juga terus bermain politik. Sedikit demi sedikit beberapa geng membangun ikatan erat dengan pejabat-pejabat penting. Hubungan keduanya murni bersifat oportunistis dan selalu ada sikap-sikap konservatif di antara mereka.

Dari Fukuoka, muncul seorang pemimpin yang mengubah arah kejahatan terorganisasi dan perpolitikan di Jepang untuk selama-lamanya. Ia berhasil menggabungkan kekuatan militerisme dan patriotisme sedemikian rupa sampai mampu bertahan hingga kini. Ia adalah Toyama Mitsuru, putra ketiga sebuah keluarga samurai yang tidak jelas latar belakangnya. Konon, Toyama menghabiskan masa kecilnya dalam kemiskinan. Ia tumbuh menjadi remaja tangguh dan mengidolakan tradisi samurai.

Ketika berusia 20 tahun, Toyama turut serta dalam pemberontakan terakhir kaum samurai yang membuatnya dipenjara oleh pemerintah Meiji selama tiga tahun. Setelah dibebaskan, patriot muda tersebut mendaftarkan diri dalam kelompok nasionalisnya yang pertama, Kyoshi-sha (Perhimpunan Kebangsaan dan Patriotisme). Untuk pertama kali pula ia berhasil mengumpulkan pengikut. Toyama turun ke jalan dan mulai mengorganisasi para penjahat di Fukuoka. Anak buahnya menjadi pekerja yang berdisiplin sekaligus petarung tangguh yang dimanfaatkan guna meminimalkan tingkat kerusuhan pekerja tambang batu bara di Fukuoka.

Seperti para pendahulunya, Toyama memperoleh reputasi sebagai Robin Hood lokal. Ia memberikan uang tanpa menghitungnya lebih dahulu kepada para pengikutnya di jalan-jalan Fukuoka. Toyama dikenal sebagai "Kaisar Perkampungan Kumuh" dan dihormati politikus setempat. Tapi, sesungguhnya mereka gentar terhadap Toyama yang dikenal sering menggunakan kekerasan.

Kemunculan Toyama ke tataran nasional dimulai sejak mendirikan Gen'yo-sha (Perhimpunan Samudra Hitam) pada 1881.Gen'yo-sha, federasi perhimpunan kaum nasionalis, adalah nenek moyang dari perhimpunan rahasia modern dan kelompok patriotik Jepang. Toyama yang ambisius mengetahui secara pasti tujuan Gen'yo-sha sebenarnya.

Secara langsung ia mengarahkan organisasi tersebut ke sentimen tinggi kalangan mantan samurai guna melakukan ekspansi ke luar negeri serta pemerintahan otoriter di dalam negeri. Bahkan istilah Gen'yo (Samudra Hitam) menyimbolkan ekspansi. Bagi Toyama dan para pengikutnya, istilah tersebut merujuk pada laut sempit yang memisahkan Jepang dengan Korea dan Cina.

Pembentuk Federasi Gengster Pertama
Pada 1892, terjadi fenomena baru di Jepang, yaitu pemilihan umum. Toyama dan kawan-kawannya menyambut hal itu dengan kerja sama berskala besar yang pertama antara sayap kanan dan dunia hitam. Gen'yo-sha, yang sudah membuat sejumlah kesepakatan dengan kaum konservatif dalam pemerintahan Meiji, melancarkan kampanye penuh kekerasan guna mendukung calon yang masih menjabat dari kalangan konservatif. Hasilnya, pemilu paling berdarah dalam sejarah Jepang. Secara terbuka, Gen'yo-sha menyatakan keterlibatannya melalui catatan resmi bahwa tujuan kampanye mereka adalah menghapus semua organisasi demokratis dan liberal di Fukuoka.

[Kelak, penerus kelompok Gen'yo-sha bernama Kokuryu-kai alias Perhimpunan Sungai Amur. Kelompok ini didirikan pada 1901 oleh tangan kanan Toyama bernama Uchida Ryohei. Namanya sudah mengisyaratkan tujuannya: ekspansi Jepang ke Sungai Amur, yang merupakan batas antara Manchuria dan Rusia. Di bawah perlindungan dan arahan Toyama, Kokuryu-kai mendorong Jepang memenangkan perang melawan Rusia, membunuh politisi, dan melakukan aksi terhadap Cina --sebagaimana dilakukan Gen'yo-sha terhadap Korea-- untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan invasi Jepang.

Selama 30 tahun perkembangannya, Kokuryu-kai mendorong Jepang mengadakan perang suci terhadap kapitalisme, bolshevisme, demokrasi, dan Barat. Walaupun iklim perpolitikan diganggu oleh pembunuhan, tekanan dari polisi, dan militer yang semakin memberontak, Jepang tumbuh semakin makmur. Status Toyamai pun meningkat. Ia disukai oleh politisi terkemuka, bahkan juga menerima uang dari keluarga Kaisar.]

Prestasi Toyama selanjutnya adalah pembentukan federasi nasional para gengster yang pertama pada 1919, yaitu Dai Nippon Kokusui-kai (Perhimpunan Intisari Nasional Jepang Raya). Organisasi yang beranggotakan lebih dari 60.000 gengster, buruh, dan ultranasionalis tersebut merupakan hasil karya Toyama dan Tokunami Takejiro, yang waktu itu menjabat menteri dalam negeri. Kokusui-kai bertindak sebagai kekuatan pembubar unjuk rasa dan memperkenalkan praktek-praktek kekerasan yang belum ada sebelumnya ke pergrakan ultranasionalis.

Pada 1944, ketika berusia 89 tahun, Toyama Mitsuru akhirnya wafat. Ia tetap sempat melihat Jepang yang sangat dicintainya berhasil menguasai sebagian besar Asia dan Pasifik. Pengaruhnya terus hidup melalui banyak organisasi yakuza dan sayap kanan. Selama dua generasi kemudian potret Toyama menghiasi dinding di hampir semua kantor sayap kanan maupun yakuza. Sayangnya, bapak dari saya kanan Jepang ini tidak sempat melihat hasil akhir dari kekuatan militan yang ia bangun selama bertahun-tahun, karena perang telah membawa Jepang ke puncak dan lembah kekuatan politik hanya dalam empat tahun.

[Setelah menyerah pada medio Agustus 1945, Jepang berada di bawah kekuasaan tentara pendudukan Sekutu. Pasukan pendudukan membersihkan pejabat-pejabat lapis atas dalam pemerintahan dan dunia bisnis negeri sakura itu. Artinya, pasukan pendudukan meninggalkan kekosongan kekuasaan, sehingga muncul beragam kelompok oyabun-kobun yang baru, yang menjadi model yakuza berikutnya. Geng terbesar dan terkuat di antaranya adalah gurentai. Mereka adalah gerombolan mafia muda bersenjata yang tumbuh subur di seluruh Jepang. Faktanya, dalam carut-marut kurun masa 1945-1950, pasukan pendudukan gagal dalam melindungi warga Jepang dari ulah yakuza. Pasukan kedelapan tidak bisa berbuat banyak untuk membendung kekuasaan gurentai. Pada masa ini, lahir tokoh baru dunia hitam Jepang, menggantikan Toyama. Namanya Kodama Yoshio.]

Era Baru Pasca-Perang Dunia II.
Kodama Yoshio dipenjarakan di Penjara Sugamo, Tokyo, dari 1946 sampai akhir 1948. Penjara itu tempat menahan banyak tersangka penjahat perang yang menunggu pengadilan atau vonis dari Pengadilan Militer Internasional di Timur Jauh. Kodama termasuk narapidana kelas A, yakni tingkatan yang ditujukan kepada mereka yang menjabat dalam kabinet, perwira militer, dan kaum ultranasionalis --Kodama masuk dalam kelompok yang disebut terakhir.

Penahanan Kodama bukan hukuman penjara yang pertama, tetapi pasti yang paling menguntungkan. Hidup tiga tahun dalam penjara merupakan hal yang terpenting. Sebab selama itu Kodama menjalin atau memperkuat persahabatannya dengan kaum kanan lainnya yang kelak akan memimpin Jepang. Ketika keluar dari Penjara Sugamo pada umur 37 tahun, Kodama baru saja akan memulai fase baru dari kehidupan lamanya. Melalui hubungannya dengan kaum kanan, dunia hitam, dan intelijen Amerika, Kodama menjadi salah satu orang terkuat di Jepang setelah Perang Dunia II. Ia sekaligus menjadi dalang di balik kenaikan yakuza dalam bidang politik.

Meskipun bukan sosok yang meyakinkan sebagai teoretisi, Kodama sangat ahli dalam mengorganisasi, mencatut, dan mengatur aksi penuh kekerasan. Karirnya dimulai pada akhir 1920-an, dengan bergabung dalam sejumlah kelompok ultranasionalis. Ia berguru kepada Toyama Mitsuru di geng Gen'yo-sha. Pada 1929, ia bergabung dengan Kenkoku-kai (Asosiasi Pendiri Bangsa) yang didirikan oleh Dr. Uesugi Shinkichi dan Akao Bin, tokoh kanan Jepang yang terkenal paling berbahaya.

Selepas dari Penjara Sugamo juga, Kodama mendirikan dua basis kekuatan yang kelak akan berguna bagi dirinya, yaitu yakuza dan intelijen Amerika. Daolam waktu singkat, Kodama dapat menunjukkan bahwa ia memiliki dukungan dari yakuza kapan pun ia membutuhkan mereka. Contohnya adalah insiden pada 1949, ketika ia memimpin Meiraki-gumi melawan serikat buruh di tambang batu bara Hokutan.

Pada 1950, sepertinya Kodama tslah memperkuat posisinya sebagai perantara utama untuk G-2 (kepala intelijen militer) dan berbagai kelompok yakuza.

Seorang yakuza tua, mantan bos geng Takinogawa dari Tokyo, meringkaskan apa yang dilakukan Kodama dalam sebuah wawancara pada 1984: "Tidak ada seorang pun dari kami, para bos geng, yang memiliki koneksi dengan GHQ (general headquarters). Kodama-lah yang berhasil melakukannya." Kodama mampu berkuasa begitu rupa karena mengetahui elemen penting sebuah kekuasaan: uang. Tidak saja punya banyak uang, ia juga tahu bagaimana menyebarkannya dengan baik.

Sebaliknya, para petinggi Amerika Serikat tak segan-segan menggelontorkan uang untuk operasi penyingkiran orang-orang kiri. Uang dan hubungan istimewa yang diberikan para petinggi Amerika Serikat kepada kaum kanan dan gengster yang menjadi sekutu mereka menciptakan struktur kekuasaan yang korup dan bertahan selama beberapa dekade di Jepang. Sampai sekarang, yakuza melanjutkan peran mereka dalam dunia politik Jepang, yakni sebagai penyedia uang dan "tukang gebuk".

Posisi yakuza menjadi jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Mereka terus berperan sebagai tukang pukul perusahaan dan pembubar unjuk rasa. Hal itu membuat mereka mampu memperoleh bagian dalam perekonomian yang jangkauannya semakin lama semakin besar. Mereka menyedot uang dari penduduk Jepang jauh melebihi jasa yang mereka berikan. Para politisi kanan Jepang juga memperoleh manfaat dengan memiliki pasukan yakuza pribadi.

Namun, ada yang merisaukan banyak generasi tua yakuza: perubahan nilai yang dianut generasi muda di abad ke-21. Seperti diisyaratkan Inagawa Kakuji, oyabun kelompok Inagawa-kai, geng ketiga terbesar di Jepang. "Suatu saat nanti, yakuza akan seperti mafia Amerika. Di masa yang akan datang, hanya akan ada satu gengster nasional. Layaknya organisasi saya, perusahaan-perusahaan yang lebih besar akan mengambil alih. Anda akan melihat pergerakan menuju korporasi."

Inagawa jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya atas perubahan tersebut. "Mafia rela membunuh demi mendapatkan keuntungan. Sementara yakuza harus menghormati moral dan peraturan dan mematuhinya, hanya tradisi ini mulai memudar. Segalanya akan lebih mudah kalau kita bisa membalik waktu. Kesenjangan generasilah yang saya khawatirkan."

Inagawa tidak sendirian. Hal yang paling sering dikeluhkan para ketua dunia hitam Jepang zaman sekarang adalah sikap yakuza-yakuza baru yang dianggap lebih kejam, kurang patuh pada atasan, dan lebih tertarik untuk menggali keuntungan besar ketimbang menghormati tradisi feodal. Sebagaimana dikatakan bos yakuza Kyoto, Takayama Tokutaro, kepada seorang wartawan, "Sekarang mereka sudah tidak lagi menghiraukan kewajiban, tradisi, kehormatan, dan harga diri. Tidak ada lagi peraturan."


Fakta terburuk bagi para godfathers yang semakin tua itu adalah bahwa mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka tidak lagi memegang kendali penuh terhadap generasi yang dibesarkan dengan pesawat jet untuk berwisata, geng-geng motor, televisi, dan kredit konsumennya yang semakin besar. Selesai

Sumber : Arsip Majalah Gatra









SERBA SEPUH - Perjalanan batin Lady Diana ternyata penuh liku dan lelaki. Itu terungkap dalam buku baru berjudul The Diana Chronicle...



SERBA SEPUH - Perjalanan batin Lady Diana ternyata penuh liku dan lelaki. Itu terungkap dalam buku baru berjudul The Diana Chronicle yang ditulis Tina Brown. Mantan pemimpin redaksi majalah Inggris, Tatler, ini mewawancarai sejumlah sumber sebelum menulis buku setebal 542 halaman itu. Di buku laris yang kehadirannya seakan melengkapi semarak peringatan 10 tahun meninggalnya Putri Diana itu, Tina juga menulis bahwa Diana pernah berniat menjadi wanita muslim, agar bisa menikah dengan dr. Haznat Khan dari Pakistan.

Bagaimana kisahnya? Berikut saya nukilkan untuk sampeyan semua. Monggo..

Agustus 1997, tanggal 31. Paris. Mobil hitam yang ngebut melewati Terowongan Pont d'Alma, setelah tengah malam itu, membawa wanita paling kondang sedunia: Putri Diana. Wanita berambut pirang dan idola dunia yang menjulurkan kakinya di jok belakang Mercedes hitam itu tengah kacau pikirannya.

Ekspresi wajahnya yang kalut terlihat di kamera Hotel Ritz, ketika ia melangkah melewati pintu putar di belakang hotel di Rue Cambon, sebelum masuk Mercedes. Itulah saat-saat terakhir hidup sang putri. Sesaat kemudian, Mercedes hitam yang ditumpanginya menghantam tembok penyangga Terowongan Pont d'Alma.

Mobil mewah itu luluh lantak, disaksikan para paparazzi yang terus-menerus menguntitnya. Dodi Al-Fayed, pacar Diana, tewas di tempat. Sedangkan Putri Diana sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong.

Sebetulnya Diana sudah ingin segera cabut dari Prancis, kembali ke Inggris. Pada tengah malam di Paris bersama Dodi Fayed, Putri Diana tahu bahwa segala sesuatunya serba lepas kendali.

"Dia ingin cepat pulang. Dia ingin menemui kedua anaknya. Dia bukan bintang pop. Dia seorang Putri Inggris yang biasa lewat pintu depan dan melewati karpet merah," ujar Arthur Edwards, fotografer Kerajaan Inggris.

Sejak bercerai dengan Pangeran Charles, Diana harus menerima keadaan bahwa ia bukan lagi keluarga kerajaan. Kehadirannya harus disembunyikan. "Harus lewat pintu belakang dan menumpang mobil samaran, seperti dilakukan Dodi," kata Arthur.

Bahkan kehadirannya tidak diketahui Duta Besar Inggris maupun Pemerintah Prancis. Pada bulan Agustus, banyak orang Prancis datang ke Deauville melihat pertandingan polo atau berwisata ke Loire atau Bordeaux. Dodi juga punya tempat peristirahatan milik ayahnya, Mohamed Al-Fayed, pengusaha asal Mesir, di Rue Arsene-Houssaye yang menghadap ke Champs-Elysees.

Lalu, untuk apa mereka berdua ke Hotel Ritz? Semata-mata karena Dodi ingin memamerkan hotel milik ayahnya di Paris itu. Hotel paling prestisius di Paris yang selalu menjadi tujuan wisatawan seluruh dunia, dengan restorannya yang mewah, tempat anak-anak muda kaya sejagat menghabiskan malam dan minum anggur atau sekadar makan malam dengan tarif US$ 700 (sekitar Rp 6 juta) untuk berdua.

Suasana mewah ketika itu memang tidak sesuai dengan keadaan Diana, yang baru saja melelang sejumlah gaun malamnya untuk kegiatan sosial di tempat lelang Christie's di New York. Di saat ia terbang melintasi Samudra Atlantik untuk menghadiri malam perdana lelang pada Juli 1997, Anna Wintour, pemimpin redaksi majalah mode Vogue, dan saya tengah makan siang di Restoran Park Avenue di Hotel Four Seasons. "Saya masih menyimpan beberapa untuk acara lelang mendatang," kata Diana.

Saya bertemu pertama kali dengannya dalam sebuah acara makan malam di Kedutaan Amerika Seikat di London, Inggris, 1981. Pengantin baru yang berperawakan tinggi seperti Barbarella, tokoh komik wanita Prancis yang penuh petualangan, temasuk seks, ketika berkelana ke ruang angkasa.

Gaun merek Channel tampak pas, dan kulitnya halus sempurna. Ia tiba mengenakan topi kerucut berlampu, yang membuat dirinya bagai dewi surgawi. Niatnya pindah ke Amerika Serikat benar-benar tak terbendung. "Kita bisa merasakan energi naik manakala orang-orang Amerika datang ke Inggris pada bulan Juli untuk menonton pertandingan tenis Wimbledon," bisiknya.

Sejak jauh hari, Diana khawatir akan bulan Agustus. Ia tidak bisa lagi menghabiskan waktu dengan kedua anaknya setelah perceraiannya dengan Pangeran Charles. Duduk di kebun bunga Kensington Palace tidak mungkin dilakukannya. "Benar-benar tersiksa tanpa anak-anak," tuturnya.

Maklum, Agustus merupakan bulan santai keluarga. Mereka biasanya berlibur ke rumah peristirahatan Spartan di Skotlandia atau ke Tuscany sambil bermain monopoli bersama anak-anak atau membaca novel karya Frederick Forsyth.

Istana Baru Diana

Mengingat Diana bukan lagi Putri Inggris, hubungannya dengan keluarga kerajaan pun putus. Bahkan sejumlah yayasan sosial yang dibentuknya belakangan ini tidak lagi mengirim pemberitahuan awal agar Diana berada di London pada bulan Agustus. Semua pihak tampaknya ingin menjauhinya, kecuali Mohamed Al-Fayed dan tentu saja Dodi Fayed.

Dodi seakan menjadi tempat pelarian bagi Diana. Ayah Dodi yang membeli pertokoan mewah di Inggris, Harrods, menjadi simbol untuk menentang kemapaman keluarga Kerajaan Inggris. Dan seperti halnya orang-orang kaya dunia, ia bisa berbuat apa saja.

Kapal pesiarnya yang bersandar di selatan pantai Prancis, atau Hotel Ritz milik Fayed di Paris, seolah menjadi istana baru bagi Diana. "Dia punya banyak mainan," kata Diana sekali waktu kepada salah satu temannya.

Tak ayal lagi, majalah, tabloid, dan hampir seluruh media massa menyamakan Diana selama berpacaran dua pekan bersama Dodi dengan bulan madunya bersama Pangeran Charles pada 1981. Lihat saja, kapal pesiar Jonikal milik Dodi mirip kapal pesiar kerajaan, Britannia.

Meskipun tidak memiliki band pengiring dari satuan musik Marinir Inggris dan 220 pelayan seperti Brittania, kapal Mohamed Fayed, Jonikal, tidak kalah mewah. Dua bulan sebelum mengundang Diana ke kapalnya, Dodi mengubah dan merenovasinya dengan biaya US$ 20 juta agar Diana kesengsem dan jatuh ke pelukannya.

Ruang kapal itu dilengkapi dengan perangkat pipa musik seperti di gereja, yang senantiasa mendengungkan lagu-lagu romantis Julio Iglesias. Kapal Jonikal, yang pernah dijadikan tempat acara makan malam mendiang Anwar Sadat, Presiden Mesir, dilapisi dengan dekorasi bersuasana Mesir, lengkap dengan caviar dan lilin.

Dan yang paling top, pasangan itu dilayani Rene Delorm, mantan pelayan Kerajaan Inggris yang kini pindah ke ''kerajaan'' Dodi. Tidak seperti kapal pesiar kerajaan yang biasanya berlayar secara sembunyi-sembunyi, kapal Jonikal berlayar di pantai-pantai umum atau tempat orang-orang kaya berjemur.

Karena itu, tidak mengherankan bila keduanya menjadi sasaran empuk para paparazzi atawa pemburu foto dari penjuru dunia. Mereka bahkan sampai hafal kapan harus membidikkan lensa tatkala Dodi dan Diana bersantap malam atau berjemur di atas geladak kapal atau membidik Diana dulu di ujung kapal dengan kaki menjuntai ke laut.

Ada kesamaan antara Dodi dan Diana. Keduanya tengah berada di bawah tekanan dan pemaksaan kehendak. Al-Fayed memaksa anaknya, Dodi, agar memburu Diana. Bahkan kedua pengawal pribadi Dodi harus melapor ke Al-Fayed. ''Jika Dodi berbuat sesuatu yang bertentangan, saya harus melapor ke ayahnya,'' kata Rees-Jones, salah satu pengawalnya.

Pada saat itu, Dodi sudah bertunangan dengan Kelly Fisher, salah satu supermodel Calvin Klein. Bahkan mereka telah menetapkan waktu perkawinan pada 9 Agustus 1997. Namun ayahnya memutuskan membatalkannya dan memanggil Dodi untuk bergabung dengannya agar berpesiar dengan Diana.

Dimanjakan seperti itu, Diana mestinya bagai Jackie --istri mendiang Presiden John F. Kenneddy yang disunting ''raja kapal'' Aristotles Onassis. Di atas anjungan kapal Jonikal, Diana tetap mendambakan lelaki lebih matang, bukan Dodi Fayed yang selalu manut pada ayahnya.

Diana masih sering menelepon Hasnat Khan, bekas kekasihnya, dan meninggalkan pesan bahwa ia masih mencintai dan sering kangen pada dokter Pakistan itu. Ia juga mencoba mencari cinta dengan sejumlah pria kaya, seperti Theodore Forstmann, bankir di New York yang memiliki pabrik pesawat terbang Gulfstrem.

Diana pun terlibat pembicaraan serius dengan David Tang, pengusaha Hong Kong yang dijadikan mak comblang untuk menemui Gulu Lalvani, pengusaha India di Hong Kong yang memiliki bisnis elektronik Binatone. Gulu Lalvani, yang berusia 58 tahun dan memiliki kekayaan senilai US$ 500 juta, pertama kali dikenalnya pada saat merayakan kemenangan Tony Blair menjadi Perdana Menteri Inggris, Mei 1997.

Sejak itu, mereka bertemu beberapa hari dalam sepekan. "Tidak ada yang disembunyikan di antara kita," tutur Gulu Lalvani, setelah Diana tewas dalam kecelakaan. Gara-gara Gulu yang satu ini pula, Diana putus hubungan dengan ibunya, Frances Shand Kydd.

Ibunya langsung meledak di telepon ketika diberitahu bahwa anaknya berhubungan dengan Gulu, yang disebut Frances sebagai ''lelaki muslim'' itu. Padahal, Gulu bukan muslim, melainkan Punjab Sikh. ''Walah, pokoknya kulitnya sama-sama cokelat,'' ujar Frances.

Pada bulan Juni, Diana pernah mengajak berdansa Gulu Lalvani di sebuah kelab malam di Berkeley Square, Inggris. Hal ini sengaja dilakukan untuk membuat Hasnat Khan cemburu. Sayang, upaya itu sia-sia, karena Hasnat Khan tetap bergeming dan tak bersedia kembali ke pangkuan Diana.

Kisah Cintanya dengan Hasnat Khan

Putri Diana tampil lebih baik setelah perceraiannya dengan Pangeran Charles. Setiap Selasa malam, Diana duduk di meja kerjanya di Kensington Palace, menulis berbagai surat tanda terima kasih sambil mendengarkan Piano Concerto No. 2 karya Rachmanioff dan lagu kesukaannya, A Nightingale Sang in Berkeley Square, gubahan Manning Sherwin. Sementara itu, di ruang tamu, Maureen Stevens, staf dari kantor Pangeran Charles yang pintar main piano, memberikan kursus piano. Acapkali terdengar dentingan piano mengiringi Diana menulis buku harian.

Di sore hari musim panas yang hangat, Diana tenggelam di kebun bunga mengenakan celana pendek, kaus, dan kacamata Versace, membawa beberapa buku dan keping cakram padat untuk mengisi waktu luang. Di akhir pekan, ketika William dan Harry di rumah, Diana menemani mereka bersepeda menembus kebun istana.

Di ulang tahunnya yang ke-36, ia menerima 19 keranjang berisi bunga, dan Harry bersama teman-teman sekelasnya menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun lewat telepon.

Diana pernah kasmaran pada Hasnat Khan. Dokter ahli bedah jantung dari Pakistan ini menawan hatinya pada sekitar September 1995. Pertemuan pertama mereka terjadi pada waktu Diana berkunjung ke Rumah Sakit Royal Brompton, Inggris, ketika menemani Oonagh Shanely-Toffolo, salah satu pembantu dekatnya yang tengah menunggui suaminya yang mengalami perdarahan usai operasi jantung.

Hati Diana berbunga-bunga melihat Hasnat Khan yang menjadi dokter senior ini bekerja dalam tim ahli bedah yang menangani Joseph Toffolo. Sebaliknya, Khan yang tampan seperti bintang film Omar Sharif ini cuek saja karena sibuk menangani pasiennya dan tak menyadari kehadiran Diana.

Diperlakukan begitu, Diana semakin penasaran, lebih-lebih melihat percikan darah di sepatu tenis Khan. ''Oonagh, seksi banget tuh cowok,'' bisik Diana kepada temannya setelah dokter muda itu meninggalkan ruangan. Begitu tergodanya, sehingga Diana bersedia menunggui Joseph Toffolo selama 18 hari berturut-turut.

Secara mendadak, Diana suka belajar tentang jantung dan ingin menjadi kardiolog, seperti ketika ia belajar menunggang kuda atau menyukai seni Islam. Di bawah meja kamarnya terlihat setumpuk laporan mengenai prosedur operasi dan buku Gray's Anatomy. Setiap akhir pekan, ia mengurung diri menonton Casualty, opera sabun di TV yang bercerita tentang rumah sakit.

Sedangkan lemari pakaiannya diisi penuh dengan shawal kameez, sutra untuk kebaya India warna-warni dan celana yang biasa dikenakan perempuan Pakistan. Bahkan sekali waktu ia mempertimbangkan untuk memeluk agama Islam. Khan yang tak bersedia meniduri gadis sebelum menikah itu malah membuat Diana penasaran.

Hampir setiap malam ia menghabiskan waktu di ruang tidur Dokter Khan yang sempit di Rumah Sakit Royal Brompton, dan menyelinap kembali ke Kensington Palace di pagi buta. Diana juga memberanikan diri ikut menyaksikan jalannya operasi jantung. Khan mengizinkan. "Siapa pun yang bisa tahan dan berani menyaksikan operasi jantung silakan saja," kata Khan.

Hasnat Khan akhirnya tak bisa lagi menolak kehadiran Diana di ruang operasi tatkala stasiun Sky TV, Inggris, meliput operasi tim Dokter Sir Magdi Yacoub. Liputan ini diperlukan, mengingat operasi jantung itu dilakukan terhadap seorang bocah Afrika berusia tujuh tahun yang diterbangkan ke Inggris oleh sebuah badan sosial, Jaringan Harapan.

Dalam tayangan yang disiarkan ke seluruh Inggris Raya, terlihat mata Diana yang menawan di balik cadar putih yang dikenakannya, lengkap dengan seragam biru yang biasa dikenakan para dokter dan perawat rumah sakit. Dan hal itu tentu saja mengundang komentar pro dan kontra dari berbagai kalangan.

Anehnya lagi, pada November 1995, seorang juru foto News of the World menyiarkan gambar Diana tiba di rumah sakit ketika larut malam. Dia hendak bertemu dengan cowok idamannya, Khan, menikmati malam London sehabis bertugas. Diana tak sabar mengabarkan berita gembira itu. Dia meminjam telepon genggam seorang juru foto untuk menelepon Clive Goodman, koresponden kerajaan, agar memberitakan kabar bahwa Diana datang ke rumah sakit untuk memberi dukungan bagi para pasien, tiga hari dalam seminggu lebih dari empat jam sehari.

"Saya berada di sana demi mereka dan memberi kekuatan pada mereka. Mereka membutuhkan seseorang, dan saya pegang tangan mereka," tutur Diana bersemangat. Hubungannya dengan Hasnat Khan membuat Diana merasa terpenuhi segalanya. "Aku mendapatkan kedamaian dengannya," kata Diana dalam satu pengakuannya kepada salah satu teman dekatnya. "Dia memberiku segalanya yang aku butuhkan," kata Diana lagi.

Sebaliknya, Hasnat Khan tidak ingin apa pun darinya. Diana menawarinya untuk membeli mobil baru, tapi ditolak Khan dengan halus. Kehidupan pemuda kelahiran Lahore, Pakistan, ini memang sederhana dan menjauhi kemewahan.

Apartemen satu kamarnya di kawasan Chelsea berantakan, dihiasi jemuran kaus yang dipakainya sehabis bertugas. Khan menyukai Diana yang cintanya, menurut penglihatan Khan, tulus dan kegiatan sosialnya. Diana mengubah salah satu kamar pembantunya di Kensington Palace menjadi gubuk sederhana, sehingga Khan bisa lebih leluasa minum bir Heineken sambil menonton sepak bola.

Di akhir pekan, pada waktu para staf kerajaan pulang, Diana menyelinap, memberi Khan makan malam. "Masakan Marks & Spenser cocok bagi Khan. Cukup taruh ke mesin pemanas dan tekan tombolnya, langsung terhidang," tutur Diana. Kadang ia menghilang sepanjang hari di apartemen Khan, membantu membersihkan lantai dan karpet dengan mesin penyedot debu.

Diana juga mencuci piring dan menyetrika baju kekasihnya. Suatu hari pada 1 Juli, di hari ulang tahunnya, Diana tampak lain. Untuk memberikan kejutan buat Khan, ia mengenakan anting permata berlian dan safir kesayangannya. Diana juga mengenakan mantel bulu mahal warna hitam, tanpa mengenakan baju dalam alias telanjang.

Kalau mereka berantem, Paul Burrell, salah satu pembantu dekat Diana, membawa pesan dari Diana ke tempat nongkrong Khan di sebuah kafe dekat rumah sakit. Gaya kucing-kucingan untuk menghindari pers seperti ini juga dilakukan Khan. Dokter ini suatu kali juga pernah bersembunyi di jok belakang mobil Burrell bertutup selimut ketika memasuki kawasan Istana Kensington.

Soal konsumsi buat mereka, Burrell cukup hanya membawa ayam goreng Kentucky Fried Chicken. Pada saat Diana diajak Khan menonton musik jazz di Klub Ronnie Scottke, London, Diana mengenakan rambut palsu dan kacamata hitam. "Eh, aku lagi antre tiket di depan. Menarik, karena bisa bertemu dengan banyak orang yang berbeda," katanya kepada Simone Simmons, penasihatnya.

Bukan hanya itu. Diana juga suka pergi ke Pakistan kapan saja untuk menjenguk keluarga Hasnat Khan. Dengan kawan karibnya, Jemima Khan, istri pemain kriket kondang Imran Khan, Putri Diana sering berkonsultasi bagaimana caranya menikah secara muslim. Dia juga menanyakan kemungkinan untuk menikah diam-diam di depan pastor. Namun Pastor Tony Parsons di Gereja Katolik Karmelite, Inggris, menyatakan bahwa hal itu sulit dilakukan.

Mendengar hal itu, Hasnat Khan merasa kesal. "Kamu pikir kita bisa kawin cuma mengundang pastor?" ujar Khan sambil merengut. Dari sini setidaknya Hasnat Khan tahu bahwa Diana tidak serius dan hanya bermimpi.

Karena itulah, dokter Pakistan itu mengundurkan diri dan tidak lagi berhubungan dengan Diana. "Anak saya tidak akan kawin dengan Diana. Kami sudah punya calon untuk dia," tutur Dr. Rashid Khan, ayah Hasnat Khan, kepada harian Daily Express.

***

Hinggap di Pelukan Hewitt

Tinggal kini Diana yang seperti perempuan bingung. Ia hinggap di mana pun, antara lain di pelukan Mayor James Hewitt. Hewitt acapkali bertanya pada dirinya sendiri, apakah kehadirannya di pesta koktail yang digelar Putri Wales, Diana, pada musim gugur 1986 hanyalah sebuah kebetulan.

Pada waktu itu, ia hanya dua tahun lebih tua dari Diana yang berusia 26 tahun. Pangkatnya hanyalah kapten dan bekerja sebagai staf penjaga keamanan istana. Semuanya sudah dirancang untuknya oleh Istana Buckingham, yang disebutnya sebagai "sebuah tempat dengan koridor-koridor panjang dan penuh bisik-bisik".

Buktinya bisa dilihat tatkala Putri Diana meminta Hewitt menjadi pelatih pribadi menunggang kuda. Diana ketika itu tengah kesepian, dan kehidupan seksnya tidak pernah terpenuhi. Charles selalu menghilang entah ke mana di kala malam, bahkan pada saat mereka tengah melakukan tur ke negara-negara Teluk, 1986.

Sekembali dari perjalanan jauhnya itu, Diana tengah berada di posisi terendah. ''Emosinya benar-benar rapuh, dan ia tengah menderita bulimia. Tubuhnya kurus kering, dan kulitnya menggelantung tak bernyawa di tulang-tulangnya. Dia seperti wanita yang tengah hancur lebur,'' tutur Hewitt.

Hewitt sedang dalam perjalanan melakukan latihan menjelang perkawinan Sarah Ferguson dengan Pangeran Andrew pada Juli itu. Hewitt melihat Diana di sebuah tangga bawah menyaksikan latihan parade. Sambil menjinjing sepatu di tangannya, Diana bercengkerama dengan sejumlah teman dekatnya. "Saya suka melihat seragam mereka," kata Diana sambil melirik para prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris.

Kemudian di lain hari, Diana meminta kepada salah satu pembantunya untuk mengadakan pesta minum koktail bagi para pengawal kerajaan. "Biar lebih yakin ketika menunggang kuda," kata Diana. Benar juga, pelajaran menunggang kuda bersama Kapten Hewitt akhirnya menjadi lebih sering dari biasanya.

Pada saat Hewitt dipromosikan menjadi komandan pada skuadron markas besar di barak Combermere di Windsor, Diana semakin menggebu-gebu. Mengenakan baju sutra dan jaket serta sepatu bot, Diana selalu tiba di tempat latihan pada pukul delapan pagi. Ia mencium Hewitt ketika mereka berdua berada di tempat-tempat sepi sambil berbisik, "Aku membutuhkanmu. Kamu memberiku kekuatan. Aku tidak bisa lagi tahan jauh darimu. Aku ingin bersamamu. Aku cinta padamu," ujar Diana.

Kisah cinta itu terus berlanjut, dan Hewitt menjadi satu-satunya tamu pribadi dalam berbagai acara di saat Pangeran Charles tidak bisa hadir. Sehingga hubungan Hewitt dengan kedua anak Diana, William dan Henry, semakin dekat. Hewitt membekali kedua anak remaja itu seragam Angkatan Darat ketika mereka berkunjung ke beberapa barak militer di Windsor.

Mereka juga kerap bermain bersama di halaman Highgrove bersama Hewitt dan anjing labrador piaraannya. Kadangkala keduanya juga bermain pukul-pukulan bantal bersama Hewitt. Begitu dekatnya, sampai suatu hari Diana mengaku bahwa Charles mengetahui hubungan mereka.

"Ada semacam pengertian antara Charles dan Diana bahwa saya merupakan bagian dari hidupnya. Dan Camilla menjadi bagian dari hidup Charles," tutur Hewitt. Ia berhasil mengubah Diana menjadi gadis desa dan menyukai iklim pedesaan. "Dia juga suka olahraga menembak," kata Hewitt.

Di samping itu, Hewitt juga mengaku mampu memuaskan nafsu berahi Diana, dan membantu Putri Inggris itu mencapai klimaks yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak itu, Hewitt merasakan bahwa mencintai Diana bertujuan menyelamatkan jiwanya. Selama lima tahun ia selalu mendampingi Diana.

Selama musim panas 1988, Hewitt pernah begitu sibuk sehingga tak mungkin bisa hadir menemani Diana berakhir pekan di London. Sebab, pada waktu itu, Hewitt harus memimpin kejuaraan polo antar-resimen di Hampshire. Menghadapi hal itu, Diana tidak kekurangan akal. Ia langsung menelepon panitia penyelenggara dan menyatakan hendak hadir dalam kejuaraan tersebut.

Di saat kejuaraan berlangsung, tiba-tiba Diana muncul di tengah keluarga Hewitt yang sedang makan siang. "Wah, banyak makanan, nih," kata Diana, sehingga mengejutkan Hewitt, ibunya, dan dua saudara perempuannya. Ketika penyerahan hadiah, pihak penyelenggara meminta Diana memberikan piala kepada pemenangnya: tim Hewitt. Pada saat itulah, majalah dan tabloid Inggris menurunkan foto Diana sedang melirik mesra ke arah Hewitt sambil menyerahkan piala. Kisah asrama di antara keduanya terus berlanjut.

Sejumlah surat cinta yang dilayangkan Diana dipenuhi kata-kata melankolis. "Aku terjaga dari tidurku di tengah malam, lalu merasa benar-benar mencintaimu dan berterima kasih pada Tuhan karena menghadirkanmu dalam hidupku," tulis Diana dalam salah satu suratnya.

Pada saat Hewitt ditugaskan ke Prancis, Agustus 1989, Diana menulis, "Sayangku, aku merasa hal ini tak akan berlangsung lama sebelum akhirnya kita bisa bersama sepanjang masa, seperti yang sudah ditakdirkan."

Keduanya selalu menghabiskan waktu akhir pekan bersama. Bahkan kadang mereka membawa serta ibu Hewitt, Shirley Hewitt, berlibur ke sebuah tempat peristirahatan di Devon. Di tempat ini, mereka bisa menghabiskan waktu untuk berjalan bersama atau malah Diana membantu Shirley mencuci piring.

Tak ketinggalan, tentu saja, acara tidur bersama yang membuat Hewitt semakin mencintainya. "Ketika di Devon, kegiatan begitu pesat dan meningkat," tutur Ken Wharfe, salah satu pengawal pribadi Diana, tanpa menjelaskan lebih jauh apa yang dia maksud.

Kedekatan dengan Hewitt membuat Diana seolah sadar dan tak ingin melanjutkan perang dingin dengan Pangeran Charles. Tidak ada lagi berita mengenai Charles, sampai pada suatu peristiwa Januari 1988. Televisi di Inggris melaporkan pandangan mata kunjungan Charles ke Melbourne, Australia, menghadiri peringatan hari kemerdekaan yang ke-200 ''negeri kanguru'' itu.

Dalam tayangan televisi itu, Pangeran Charles tampak berdansa mesra dengan Putri Diana di ruang dansa. James Hewitt yang menyaksikan adegan itu lewat televisi merasa kaget dan cemburu. Hatinya bertanya-tanya, bagaimana mungkin Diana begitu bahagia bersama lelaki yang pernah disebutnya sebagai pria paling dibencinya sejagat.

Harian The Sunday Times terbitan September 1988 menyebutkan, Diana telah memutuskan untuk menempuh jalan damai ketimbang perang dingin. Ketika Hewitt mengatakan kepada Diana di musim panas 1989 bahwa ia akan ditugaskan ke Jerman selama dua tahun, Diana marah dan kecewa.

Putri Inggris itu bersikeras bahwa pacarnya tidak perlu pergi ke Jerman, sambil berjanji mengontak Mayor Jenderal Sir Christopher Airy, komandan dan atasan tertinggi Hewitt, untuk membatalkan penugasan itu. "Kamu sudah berjanji tetap bersama mendampingiku di sini. Sekarang kamu ingkari janjimu," kata Diana.

Sebelum berangkat ke Jerman bersama satuannya, sekitar Agustus 1989, Hewitt berkesempatan melihat Putri Diana mengayunkan kaki panjangnya di tepi kolam renang di Highgrove. "Mengenakan bikininya, kulitnya begitu segar dan bersinar. Dia berhasil menjalankan diet dan olahraga, sehingga tubuhnya tampak atletis serta ekspresinya penuh kebahagiaan. Tak lagi terlihat kecemasan di wajahnya," tulis Hewitt.

Belakangan ketahuan, Diana tidak pernah bertemu Hewitt lebih dari tiga bulan lamanya. Artinya, uraian Hewitt itu hanya karangan. Setelah berkencan dengan Hewitt, Putri Diana hidup menyendiri.

Pengawal pribadinya, Ken Wharfe, menyatakan bahwa kebanyakan lelaki --disebut ''Diana-men' -- yang mencoba mendekatinya adalah para lelaki yang tidak banyak bicara dan kering. Rata-rata mereka, kata Wharfe, "Tinggi, berperawakan sama, berpakaian menarik, punya selera sama, dan dari kalangan teman. Mereka tidak mau dijadikan suami yang serius, 12 tahun lebih tua dan berlagak lebih tua dari usia mereka agar dianggap matang," katanya.

***

Kecelakaan yang Merenggut Nyawa

Bahkan, setelah berpesiar dengan Dodi di atas kapal Jonikal, Diana berniat terbang ke London untuk menemui Gulu Lalvani. Namun niat itu tidak kesampaian. Maut menjemputnya ketika ia berduaan dengan Dodi di dalam Mercy.

Pukul 19.00 hari nahas itu, dibuntuti puluhan paparazzi, Diana dan Dodi keluar dari Hotel Ritz menuju ke apartemen Dodi di Rue Arsene-Houssaye. Diana kesal atas teriakan dan kehadiran para pemburu foto itu. Benarkah mereka minum sampanye di dalam? Tidak.

Mereka menuju Champs-Elysees. Para pengawal Dodi yang membuntuti mereka kesal juga karena tidak mampu menjalankan tugas. Dodi memerintahkan pengemudi untuk berbelok ke arah Benoit, ke sebuah bristo dekat Pompidou Center. Dodi telah mengirim koki andalannya, M. Roulet, untuk mempersiapkan segalanya. Para pemburu foto terus menguntit dekat dengan Mercedes seperti "setan gentayangan". Menghadapi hal seperti itu Diana sudah biasa, sebaliknya Dodi jadi panik.

Pukul 21.45. Dodi memerintahkan sopir kembali ke Hotel Ritz dan memutuskan untuk makan malam di sana saja. Celakanya, pada malam itu, restoran telah penuh pengunjung dan tidak ada tempat bagi keduanya.

Pukul 21.53. Dodi dan Diana diturunkan di sebuah pintu masuk yang tidak banyak diketahui umum di depan Hotel Ritz. Francois Tendil mendengar Dodi mengumpat kepada dua juru foto yang tiba-tiba muncul entah dari mana melancarkan beberapa jepretan ke arah Diana. "Sialan!" kata Dodi. Keduanya pun duduk di tempat yang disediakan, di bawah tatapan mata para tamu. Diana menangis. Merasa kikuk, mereka meminta pelayan mengirim makanan pesanan mereka ke kamar mewah Imperial di lantai atas.

Di luar hotel kini benar-benar dikepung oleh awak televisi, juru foto, pengunjung, serta para pejalan kaki yang mendengar bahwa Diana dan Dodi berada di dalam. Mereka bertepuk tangan dan berteriak setiap kali ada wanita berambut pirang keluar dari hotel. Diana dan Dodi semakin tak tahan melihat kondisi ini, karena mereka memang tidak berniat menginap.

Dodi menghabiskan waktu dengan mengundang minum-minum di bar bersama Yassin, salah satu pamannya, pengusaha kaya Arab Saudi. Namun ia tidak sempat bertemu, karena kedua pasangan itu sudah kembali ke kamar mereka. "Kalau bersama Diana, saya tidak mengajak dia ke Hotel Ritz, tapi ke tengah hutan," kata Yassin belakangan.

Pukul 24.20. Diana keluar dari pintu putar di bawah jepretan lampu kilat paparazzi, diiringi Dodi. Mercedes hitam yang mereka tumpangi melaju kencang menuju apartemen Dodi di Rue Arsene-Houssaye. Ternyata, di tengah Terowongan Pont d'Alma, mobil mewah mengilat itu menghantam tembok penyangga terowongan dan hancur luluh lantak, disaksikan para paparazzi yang menumpang lima mobil, tiga sepeda motor, dan dua skuter.

Romuald Rat, yang sejak pagi membuntuti pasangan itu, sigap melompat menghampiri mobil yang masih berasap dan menembakkan kameranya. Henri Paul, pengemudi Dodi yang terhantam kemudi pada bagian dadanya, tampak tak bergerak.

Rat langsung membuka pintu belakang Mercedes dan melihat Dodi terkulai, celana jinsnya robek. Sedangkan Diana masih bernapas, dan tubuhnya tertutup karpet jok belakang yang terbang ke atas. Rat mengambil karpet itu dan menutupkannya pada bagian bawah badan Dodi yang kemaluannya terlihat.

Diana, yang urat nadinya masih berdenyut, melenguh perlahan. ''Tenang, ya. Dokter akan datang segera,'' bisik Rat berbahasa Inggris dengan aksen Prancisnya yang kental. Selama dua menit, sejumlah kamera menyalakan kilatnya, mengabadikan adegan berdarah itu.

Frederic Mailliez, dokter pertama yang datang ke tempat kejadian, menuturkan bahwa pintu belakang mobil sudah terbuka. ''Pada waktu itu, saya belum tahu bahwa wanita cantik itu ternyata Diana,'' kata Frederic, yang langsung memasang gas oksigen ke wajah Diana dengan hati-hati.

Diana masih hidup dan merintih seraya bertanya seberapa buruk luka-lukanya. Tidak terlihat luka serius di bagian luar tubuhnya, tapi kondisinya semakin lemah dan denyut nadinya meningkat. Perlu waktu hampir satu jam untuk mengeluarkan tubuh Diana yang terimpit di antara jok belakang dan depan. Itu karena lengan kanannya bengkok akibat tulangnya terkilir.

Pukul 01.00, tekanan darahnya sangat lemah. Di dalam ambulans yang mengangkutnya menuju Rumah Sakit Pitie-Salpetriere, Diana terpaksa diberi dopamine untuk menaikkan tekanan darahnya yang terus turun.

Di dalam Pavilyun Cordier, perjuangan menyelamatkan Diana terus berlangsung. Hasil pemeriksaan sinar-X menunjukkan, terjadi perdarahan di bagian dadanya dan menekan jantung serta paru-paru kanannya. Mereka mencoba mengeringkan genangan darah itu, tapi jantungnya berhenti berdetak.


Profesor Alain Pavie, ahli bedah jantung, didatangkan pada malam itu dan mendapati jantung kanan Diana robek akibat kecelakaan sehingga tergeser dari bagian dada kiri ke bagian kanan. Mereka berhasil memindahkannya ke tempat semula. Namun jantung Diana lagi-lagi berhenti. Putri Inggris itu dinyatakan wafat pada pukul empat pagi dalam usia 36 tahun. Urd/2210