SERBA SEPUH - Makin banyak putri mantan juara tinju dunia meneruskan jejak ayahnya. Sebagian menyimpan dendam, melepas bisnis pengacar...

Sejarah Petinju Wanita dari Klan Penakluk Arena


SERBA SEPUH - Makin banyak putri mantan juara tinju dunia meneruskan jejak ayahnya. Sebagian menyimpan dendam, melepas bisnis pengacara dan kecantikan. Ada yang harus menempuh jalur nekat: berbugil-ria di majalah Playboy. Tapi, dibandingkan dengan para petinju pria, bayaran mereka sangat tak imbang. Don King dan Bob Arum mulai turun tangan.

Selembar cek bernilai US$ 15.000 disodorkan George Foreman kepada putrinya, Freeda George Foreman, dua tahun silam. "Cairkan cek ini, lalu urungkan niatmu," kata petinju gaek dengan perawakan setengah gergasi itu, dengan wajah bersungguh-sungguh. Tampaknya, mantan juara dunia kelas berat yang pernah naik mimbar gereja itu tak mau dibantah. Freeda menerima cek itu. Namun, ia tak pernah punya keinginan menguangkannya --bahkan sampai sekarang!

Di benak Freeda, keputusannya untuk tampil di arena tinju wanita sudah bulat. Ada satu nama yang senantiasa menggoda mimpinya: Laila Ali. Apalagi setelah ia menyaksikan pertarungan Laila melawan April Fowler di layar televisi. Tetapi, sesungguhnya, bukan pertandingan itu sendiri yang merisaukan Freeda. Melainkan ini: di belakang nama Laila tercantum sebuah "legenda" dunia tinju yang seakan tak pernah berakhir, Ali! Lalu mengapa dia, Freeda, tak berhak membuktikan loyalitasnya pada klan Foreman, yang juga tak boleh diremehkan?

Freeda lahir tiga tahun setelah "Rumble in the Jungle". Itulah judul pertarungan "historis" antara ayahnya dan Muhammad Ali, yang digelar di Zaire, pada 1974. Dalam pertarungan itu, George Foreman kalah. Ketika Freeda lahir, "Big George" --demikian panggilan akrab Foreman-- sebenarnya sudah menghindar dari gemuruh ring boxing, dan sedang asyik menikmati kegiatan barunya sebagai pendeta, bahkan mencoba melupakan masa lalunya. Namun, dalam anggapan Freeda, masa lalu itu justru penting diluruskan.

Diam-diam, rupanya, kekalahan sang ayah membuhulkan "dendam" tersembunyi di hati Freeda, anak ketiga dari 10 bersaudara keluarga Foreman. Darah petarung warisan sang ayah seperti mengalir lebih deras di dalam diri perempuan ini, ketimbang para saudaranya yang laki-laki. Maka, pada Februari 2000, di usia 23 tahun, Freeda memutuskan mundur dari posisi customer relations di UPS, sebuah perusahaan pengiriman barang di Greenville, South Carolina, Amerika Serikat. Setelan baju kantornya kemudian berganti celana pendek dan kaus tanpa lengan.

Di "kantor"-nya yang baru, sebuah gimnasium di dekat rumahnya, Freeda memasuki dunia spartan. Tidak ada pengatur suhu dan pengharum ruangan. Bahkan hampir tak ada waktu senggang. Di bawah pengawasan pelatih Larry Goossen, Freeda mulai mempersiapkan pertandingan perdananya, yang dijadwalkan berlangsung pada awal April 2000. Tetapi, dengan alasan kesehatan, Freeda membatalkan pertandingan itu pada 30 Maret.

Akhirnya, pada 18 Juni 2000, Freeda memulai perjalanan kariernya sebagai petinju wanita profesional. Dia, yang memilih turun di kelas menengah, berhadapan dengan LaQuanda Landers, petinju wanita asal Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat. Buat LaQuanda, pertandingan tersebut juga merupakan debutnya. Partai ini dimainkan di Las Vegas, Nevada, yang termasyhur sebagai kota judi dan tinju. LaQuanda hanya bisa bertahan dua ronde. Kini Freeda, perempuan dengan tinggi 160 sentimeter itu, sudah mencatat rekor bertanding 5-0-0, dengan tiga kali kemenangan KO --plus dendam, barangkali.

Impian Menaklukkan Legenda

Dendam, rupanya, bukan monopoli Freeda George Foreman seorang. Ia juga merasuk di dalam diri Jacqueline Frazier-Lyde. Putri Joe Frazier, juara dunia kelas berat WBC/WBA 1970-1973, ini juga ingin menyamakan skor pertarungan antara klan Ali dan Frazier. Dua dari tiga pertarungan Ali-Frazier, pada 1970-an --satu di antaranya diberi label "Thrills in Manila"-- adalah milik klan Ali. Seperti halnya Freeda, dendam "Jacqui" --panggilan akrab Jacqueline Frazier-Lyde-- juga bangkit ketika ia menonton partai berat sebelah antara Laila Ali dan April Fowler.

Demi membela klan Frazier, Jacqui rela melepas statusnya sebagai pengacara, dan keluar dari Kantor Biro Hukum Frazier-Lyde & Associates, kantor yang berada tepat di atas gimnasium milik ayahnya. Jacqui meraih gelar sarjana hukum dari American University, dengan beasiswa yang diperolehnya dari cabang olahraga bola basket. Walau cukup tua untuk ukuran pemula --Jacqui memulai karier tinjunya pada usia 38 tahun, usia ketika ayahnya memutuskan menggantung sarung tinju-- ibu tiga anak ini tetap giat berlatih.

Pada pertandingan perdananya melawan Teela Reese, 6 Februari 2000, Jacqui menang TKO. Kini, ia mengantongi rekor 8-1-0, tanpa satu pun kemenangan dengan angka! Jacqui dan Freeda kemudian bagaikan bergandengan tangan mengejar impian yang sama: menaklukkan Laila Ali. Dalam setiap wawancara dengan pers, Freeda dan Jacqui kerap menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan tantangan mereka kepada Laila. "Ini bukan soal balas dendam, melainkan kesempatan," kata Freeda.

Laila sendiri menanggapi kampanye Freeda dan Jacqui dengan dingin. Jauh berbeda dengan gaya "agitasi" ayahnya dulu, yang sudah pasti memberi tanggapan gemuruh lewat mulut besarnya. Kubu Laila hanya menanggapi dengan tawar --namun tak kalah tajam-- melalui pernyataan, "Kami tidak akan melayaninya sebelum mereka menjadi petinju profesional." Tapi, akhirnya, kubu Laila memberi kesempatan pada Jacqui. Pertandingan itu berlangsung pada 6 Juni 2001, dan dijual dengan kemasan menawan berjudul "Ali-Frazier 4: The Next Generation".

Dengan mengeksploitasi nama kedua mantan juara dunia kelas berat itu, pertandingan sukses besar. Sekitar 6.000 penonton yang memadati Turning Stone Casino, di Verona, New York, sibuk meneriakkan nama Ali dan Frazier, ketimbang nama Laila dan Jacqui. Namun, faktor usia ternyata berpengaruh dalam partai itu. Jacqui kalah angka mutlak dari Laila. Sekarang tinggallah Freeda yang harus membuktikan sesumbarnya.

Begitu hebatkah Laila sehingga mampu membuat Freeda dan Jacqui berpaling dari kehidupan normalnya? Dari sisi teknik, barangkali Laila tak cukup punya modal untuk dengan mudah menaklukkan Freeda dan Jacqui. Sebab, pada saat ini, setidaknya ada selusin petinju andal yang siap bertarung dengan keduanya. Tapi, itu tadi, "marga" Laila-lah yang paling banyak memegang peranan. Impian untuk menumbangkan sebuah "legenda" seperti menjadi daya tarik luar biasa, juga bagi para petinju perempuan.

Tawon Wanita Penyengat

Laila lahir di Los Angeles, California, pada 30 Desember 1977, dari pasangan Muhammad Ali dan Veronica. Tapi, anak ini kemudian lebih banyak menghabiskan masa remaja, dan keinginannya untuk terjun ke arena tinju profesional, bersama Lonnie Ali, istri ketiga Muhammad Ali. Seperti terjadi pada Freeda George Foreman, Laila juga mendapat tentangan keras dari ayahnya. "Ayah baru tahu saya jadi petinju setelah naik ring," kata Laila. Walau begitu, Ali tetap menghadiri pertandingan perdana Laila.

Keinginan Laila untuk menggunakan sarung tinju muncul ketika ia berusia 21 tahun. Itu pun tanpa tujuan tampil di arena profesional --tapi semata-mata untuk menurunkan berat badannya. Barulah enam tahun lalu, setelah menyaksikan penampilan petinju perempuan Christy Martin di televisi, Laila berpikir untuk menangguk uang dari arena tinju profesional. Setahun kemudian, ia baru serius menjalani latihan.

Tanpa berpikir panjang, ia melepas bisnis perawatan kuku miliknya di Los Angeles. Di bawah gemblengan John McClain, yang juga kekasihnya, bakat titisan ayahnya makin kelihatan. Apalagi didukung oleh postur tubuhnya: tinggi 176 sentimeter dan berat 76 kilogram. Debut Laila dimulai pada 8 Oktober 1999, dalam pertarungan melawan April Fowler di Turning Stone Casino Convention Center, Verona, New York. Laila bertarung dengan baik, dan mengalahkan April dengan kemenangan KO di detik ke-31 ronde pertama.

Dua pertandingan Laila berikutnya juga dilewatinya dengan mulus. Masing-masing melawan Shadina Pennybaker, 12 November, dan Nicolyn Armstrong, 10 Desember 1999. Kedua lawannya itu dihabisi dalam waktu relatif singkat, sehingga Laila sempat mendapat julukan "The Quickest". Tentu saja Laila, yang juga dijuluki "Tawon Wanita Penyengat" itu, makin percaya diri. Tapi, yang paling penting, ayahnya akhirnya merestui pilihan karier anak kedelapan dari sembilan bersaudara itu. Restu ini pula yang makin melonjakkan nama Laila, yang kemudian membukukan kemenangan demi kemenangan.

Sayangnya, Laila tidak mewarisi seluruh kehebatan ayahnya. Gaya "rope a dope" (bergelayutan pada tali ring seraya bertahan dan memukul), yang menjadi ciri khas Ali, tidak terlihat dalam permainan Laila. Tapi, ketika dia menunggu bangunnya April dari kanvas, dengan tangan menggantung sambil menatap lawan, banyak orang membandingkannya dengan gaya Ali ketika menunggu bangkitnya Sonny Liston. Kini, Laila yang bertarung di kelas menengah super berada di peringkat keempat IWBF (International Women Boxer Federation), peringkat ketiga IFBA (International Female Boxer Association), dan peringkat ketiga WIBA (Women International Boxing Association).

Laila mencatat rekor kemenangan 10-0-0, dengan delapan kemenangan KO. Catatan itu termasuk kemenangannya atas Jacqueline Frazier-Lyde. Tapi, Laila juga tak bisa melenggang kangkung: di sekitar ketiga putri juara dunia itu, kini bertebaran pula nama sejumlah putri juara tindju lainnya yang tak bisa diremehkan. Sebutlah Maria Johansson, JMarie Moore, Eliza Olson, dan Irichelle Duran. Sayangnya, kecuali Eliza Olson, tidak semua petinju perempuan itu meneruskan kariernya.

Dewa Penyembur Guntur

Maria Johansson, misalnya. Putri Ingemar "Ingo" Johansson, mantan juara kelas berat (1959) --Ingemar mengalahkan Floyd Patterson ketika merebut gelarnya-- itu hanya tercatat melakukan dua pertandingan. Padahal, ketika keinginan Maria tercium pers, bayangan kehebatan Ingemar kembali dilekatkan kepadanya. Bahkan pers sempat menjuluki Maria "Daughter of Thor". Ingemar sempat mendapat label "Thor" --dewa dalam mitologi bangsa Viking yang bisa menyemburkan guntur dari martilnya-- ketika bertanding melawan Floyd Patterson. Di ronde ketiga, Patterson tujuh kali tersungkur.

Kekalahan pertama Maria dialaminya justru pada pertarungan debutnya melawan Karrie Frye, petinju asal LaPorte, Indiana, Amerika Serikat, pada 18 Juni 2000. Untung hanya kalah angka. Pertandingan yang dilangsungkan di Regent, Las Vegas, itu merupakan partai tambahan dari pergelaran Hector Camacho Jr. melawan Manard Reed. Pada pertandingan kedua, 21 Juli 2000, melawan Karen Bill, Maria mencium kanvas dan kalah TKO di ronde kedua. Sejak itu, ia tidak lagi menampakkan batang hidungnya di arena tinju kelas berat ringan.

Faktor usia boleh jadi adalah penghalang utama Maria: ia memulai karier bertinjunya pada usia 34 tahun. Padahal, bakat adu jotos Maria sudah terlihat sejak muda. Penampilannya tomboi, dan semua cabang olahraga populer yang dimainkan pria juga diminatinya. "Ia sering mengalahkan banyak laki-laki di berbagai jenis olahraga," kata abangnya, Patrick Johansson. Motivasi ibu dua anak itu terbangun setelah ia menyaksikan rekaman pertandingan ayahnya.

"Saya sudah melihat semua pertandingannya. Ia adalah pahlawanku," katanya. Ingemar sendiri sebenarnya khawatir akan pilihan putrinya itu. Namun, pada saat yang sama, ia menyadari bahwa "gen" adu jotos, yang mengalir di tubuh Maria, tak bisa dihindari. Karena itu, yang bisa dilakukan Ingemar hanyalah memberi tips. "Kedua tanganmu harus selalu di atas, dan kepalamu harus menunduk," kata Ingemar. Sayangnya, tips itu hanya dua kali dipraktekkan Maria.

J'Marie Moore, putri Archie Moore, juara kelas berat ringan pada 1952-1957 dan 1961, juga tak terlalu mengilap di arena tinju. Padahal, J'Marie adalah pembuka jalan bagi rombongan anak juara dunia tinju itu. Seperti Maria, J'Marie pun hanya sempat melakukan dua pertarungan. Bedanya, JMarie merasakan kemenangan di dua pertarungan itu. Debut J'Marie dimulai pada 27 Juni 1997, di Tropicana Casino Resort di Atlantic City, ketika ia berhadapan dengan Greta Daniels.

Dalam partai itu, J'Marie menang angka. Dalam pertarungan keduanya, melawan Anita Wells, JMarie menang TKO. Partai kedua ini sendiri berjarak hampir tiga tahun dari debutnya. Tapi sekaligus menjadi akhir kariernya. Sementara itu, dari Panama muncul nama Irichelle Duran. Ia adalah putri Roberto Duran, petinju yang sukses menjadi juara di empat kelas: ringan WBA (1972-1979), welter WBC (1980), menengah junior WBA (1983), dan menengah WBC (1989). Debut profesionalnya di kelas bantam dimulai pada 4 Agustus 2000.

Tidak Ada Intuisi Membunuh

Namun, dalam partai melawan Geraldine Iglesias itu, Irichelle harus mengakui keunggulan lawannya. Ia kalah angka. Pada pertarungan keduanya, Oktober 2000, melawan Marilyn Hernandez, Irichelle berhasil mengungguli lawannya dengan TKO pada ronde ketiga. Setelah mengalahkan Marilyn, Irichelle mendapat pelukan dari Roberto Duran. "Sekarang ia merestui pilihan karier saya," kata Irichelle. Tapi, seperti Maria, partai keduanya itu sekaligus menjadi akhir kariernya.

Lain halnya dengan Eliza Olson, cucu Carl "BoBo" Olson, mantan juara dunia kelas menengah (1952-1954). BoBo sendiri pensiun pada 1966 dengan statistik 99-16-2, dengan 49 kemenangan KO. Ia meninggal pada usia 72 tahun,16 Januari lalu. Dengan dikawal manajer Don Chargin dan pelatih Freddie Roach, satu di antara pelatih tinju terbaik masa ini-- Eliza ikut mencoba peruntungan di arena tinju wanita. Dalam debutnya, 3 Maret 2000, Eliza menang angka atas Debbie Foster. Kemenangan terakhir diraih Eliza pada 19 Desember 2001, setelah meng-KO Reyna Soriano.

Kini, Eliza mengantongi rekor 5-1-0, dengan tiga kali kemenangan KO, dan berada di peringkat ke-11 kelas welter IWBA. Satu-satunya kekalahan dialami Eliza saat berhadapan dengan Gloria Ramirez pada Januari 2001. Dengan beberapa catatan itu saja, para petinju perempuan memang sudah mendapatkan haknya untuk berlaga di atas ring. Beberapa pertandingan tinju wanita bahkan dijadikan sebagai partai tambahan dalam partai besar seperti Mike Tyson melawan Frank Bruno.

Tapi, dari sisi bayaran, perbedaan antara partai tinju wanita dan petinju pria bagaikan bumi dan langit. Coba bandingkan: seorang petinju "culun" yang dihadapkan pada Mike Tyson bisa mendapat honor ratusan ribu sampai jutaan dolar. Ketika Mike Tyson berhadapan dengan Frank Bruno, misalnya, si leher beton itu mendapat honor US$ 30 juta, sedangkan lawannya mendapat US$ 6 juta. Lain ceritanya dengan petinju wanita.

Bahkan dalam sebuah partai besar, dalam konteks promosi, seorang petinju wanita tidak dibayar dengan angka ratusan ribu dolar. Angka bayaran tertinggi yang pernah dicatat dalam sejarah tinju wanita hanya sekitar US$ 25.000. Dalam partai Jacqui-Teela, misalnya, putri Joe Frazier itu cuma mendapat US$ 25.000. Teela cuma dibayar US$ 800. Ketika berhadapan dengan Nicolyn Armstrong, Laila Ali mendapat US$ 25.000, sedangkan Nicolyn hanya kebagian US$ 5.000. Dalam partai debutnya, Freeda Foreman cuma dibayar US$ 15.000.

Di luar petinju dengan nama keluarga yang terkenal, honornya bahkan tidak mendekati jumlah yang didapat Jacqui atau Laila. Honor tertinggi Christy "Coal Miner's Daughter" Martin, misalnya, hanya US$ 15.000. Kecilnya honor petinju wanita ini punya kaitan erat dengan citra olahraga itu sendiri. Selama ini, tinju lekat dengan segala macam hal yang berhubungan dengan kesan macho, teknik tinggi, dan kadang: intuisi untuk membunuh. Nah, inilah yang tidak didapat penonton dalam pertandingan tinju wanita.

Memajang Tubuh di Majalah Playboy

Dengan nada berseloroh, promotor Bob Arum pernah menjelaskan mengapa masih ada penonton yang menyaksikan partai tinju wanita --dengan nada miring. "Bokong mereka enak dilihat," katanya. Hanya itukah yang diperoleh para petinju wanita? Tidak juga. Liputan tentang mereka di berbagai media internasional punya nilai tak kalah penting. Menjelang pertandingan Laila-Jacqui, misalnya, tampang kedua petinju itu menghiasi TV Guide, majalah terlaris di Amerika Serikat. Laila juga mendapat liputan khusus dari majalah People ketika melangsungkan pernikahannya.

Betul, sepertinya keuntungan materiil dan popularitas memang dirasakan oleh petinju "berdarah biru" itu. Padahal, puluhan petinju yang lebih hebat di luar rombongan itu harus melakukan segala cara untuk mendapat perhatian publik. Lihat saja yang dilakukan Mia St. John. Petinju kelas bantam ini sampai rela memamerkan kemolekan tubuhnya di majalah Playboy. Tapi, kemungkinan besar, honor itu akan segera merangkak naik.


Pasalnya, Christy Martin dan Mia St. John berniat menantang Laila Ali. Memang, dari sisi kelas, kedua petinju itu harus menambah berat badan mereka. Christy dan Mia bukan petinju sembarangan. Rekor pertarungan mereka jauh lebih banyak dibandingkan dengan Laila. Christy Martin mencatat rekor 44-2-2 (31 di antaranya dengan KO). Sementara Mia sudah menjalani 13 kali pertarungan. Apalagi promotor beken seperti Don King (Christy dan Mia St. John ada di bawah kendalinya) dan Bob Arum sudah mulai ikut cawe-cawe di tinju wanita setelah belajar dari sukses partai Jacqui-Laila. Buat Laila sendiri, partai itu, kalau memang jadi digelar, merupakan kesempatan untuk membuktikan bahwa ia tak hanya mewarisi gen bertarung ayahnya. Julukan "The Greatest" bisa jadi juga menjadi miliknya. Sekian.

1 komentar: