SERBA SEPUH - Artikel ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya Yakuza : Geng Kriminal Sepatuh Samurai, agar ceritanya tidak parsial silahkan baca dahulu tulisan pertama.
Legenda dan
tradisi machi yakko diwariskan generasi "rakyat kecil pemberani"
berikutnya. Di antaranya adalah anggota pemadam kebakaran Jepang zaman dulu.
Mereka adalah orang-orang pemberani dan pemarah yang biasanya bekerja sebagai
pekerja konstruksi sekaligus anggota pemadam kebakaran sukarela. Pahlawan
jelata lainnya termasuk detektif, pemimpin geng buruh, pemain sumo, serta
anggota sindikat kejahatan Jepang abad ke-18.
Bakuto (penjudi)
dan tekiya (pedagang keliling) pada yakuza terdahulu baru muncul sekitar 100
tahun setelah kematian Chobe Banzuiin. Mereka muncul di tengah-tngah masyarakat
yang masih diikat hukum feodal kaum shogun. Mereka adalah anggota dunia hitam
zaman Pertengahan yang kreatif dan dianggap sebagai leluhur yakuza modern
sesungguhnya. Kedua kelompok tersebut memiliki kebiasaan yang sangat berbeda
sehingga polisi Jepang masa kini masih sering mengategorikan anggota yakuza
sebagai bakuto dan tekiya.
Anggota bakuto dan
tekiya kebanyakan berasal dari golongan yang biasa ditemukan dalam masyarakat
mana pun: orang miskin, orang-orang yang tak punya lahan sendiri, pelanggar
hukum, dan orang yang dianggap berbeda oleh kaum mayoritas. Uniknya, setiap
kelompok hanya menjaga wilayahnya masing-masing sedemikian rupa sehingga mereka
dapat beroperasi dalam wilayah kecil yang sama tanpa menimbulkan konflik.
Bakuta beroperasi di sepanjang jalan raya yang ramai dan kota-kota kecil,
sedangkan tekiya di tengah-tengah pasar dan pekan raya yang sedang berkembang.
Tokoh gengster
yang amat terkenal di masa ini adalah Shimizu no Jirocho alias Jirocho dari
Shimizu. Masa keemasan Jirocho bertepatan dengan masa-masa pergolakan pada
pertengahan abad ke-19. Saat itu, kekuasaan Tokugawa mulai menurun karena
diperlemah oleh serangan dari berbagai sisi. [Tekanan dari dalam diperberat
dengan tuntutan agar Jepang membuka pintu bagi Barat. Pemberontakan para petani
berulang kali terjadi dan kekaisaran di Kyoto yang kekuasaannya di Jepang
meningkat pun menaruh kebencian.]
Ada gerakan yang
sangat besar mengumpulkan kekuatan guna mengembalikan posisi kaisar sebagai
kepala negara yang sebenarnya. Di antara para pendukung gerakan ini terdapat
orang-orang yang berharap Jepang tetap tertutup bagi orang asing. Sebab, shogun
telah tunduk pada permintaan Komodor Perry pada 1854 dan secara bertahap
membuka pelabuhan-pelabuhan Jepangh bagi Barat.
Inilah babak akhir
masa Tokugawa, akhir dari feodalisme yang panjang. Sebagaimana banyak yakuza
lain pada masa chaos, Jirocho mengambil sikap. Ia memberikan dukungan guna
menempatkan kaisar sebagai penguasa mutlak kepulauan Jepang. Motivasi Jirocho
tidak bersifat ideologis. Sebagai penjudi, bakuto hanya mempertaruhkan harapan
agar bisa mendapat keuntungan politis dari pihak yang menang.
Pertaruhan Jirocho
rupanya keputusan yang bijak, karena kemudian semua kejahatannya di masa lalu
diampuni dan ia menjadi orang yang berkuasa dalam komunitasnya. Sang bos bakuto
melakukan peningkatan dalam bidang pertanian, penangkapan ikan, dan
pengembangan kota Shimizu.
Jirocho wafat pada
1893 ketika berusia 73 tahun. Hingga sekarang, ribuan orang masih mengunjungi
makamnya setiap tahun. Ia dimakamkan bersama para pengikutnya di kuil setempat.
Legenda Shimizu no Jirocho kurang lebih menunjukkan bagaimana yakuza paling
terkenal di Jepang digambarkan dalam begitu banyak balada dan legenda selama
bertahun-tahun.
Yakuza Berubah Seiring Modernisasi
Ketika Jepang
mengalami modernisasi, yakuza turut memperluas aktivitas mereka sesuai dengan
pertumbuhan ekonomi. Geng yakuza memperoleh pijakan dalam mengorganisasi
pekerja lepas untuk pekerjaan konstruksi di kota-kota besar dan merekrut kuli
pelabuhan guna melayani bisnis yang sedang berkembang pesat di pelabuhan.
Kecuali itu, dengan diperkenalkannya roda besi, dunia hitam Jepang turut
mempengaruhi pengelolaan jenis kereta baru yang disebut becak--pada 1900
jumlahnya mencapai 50.000 unit di Tokyo.
Perjudian masih
menjadi pusat kehidupan geng-geng bakuto. Tekiya juga mempertahankan mata pencarian
tradisional mereka, yaitu kios pinggir jalan. Selain itu, geng-geng bakuto dan
tekiya juga terus bermain politik. Sedikit demi sedikit beberapa geng membangun
ikatan erat dengan pejabat-pejabat penting. Hubungan keduanya murni bersifat
oportunistis dan selalu ada sikap-sikap konservatif di antara mereka.
Dari Fukuoka,
muncul seorang pemimpin yang mengubah arah kejahatan terorganisasi dan
perpolitikan di Jepang untuk selama-lamanya. Ia berhasil menggabungkan kekuatan
militerisme dan patriotisme sedemikian rupa sampai mampu bertahan hingga kini.
Ia adalah Toyama Mitsuru, putra ketiga sebuah keluarga samurai yang tidak jelas
latar belakangnya. Konon, Toyama menghabiskan masa kecilnya dalam kemiskinan.
Ia tumbuh menjadi remaja tangguh dan mengidolakan tradisi samurai.
Ketika berusia 20
tahun, Toyama turut serta dalam pemberontakan terakhir kaum samurai yang
membuatnya dipenjara oleh pemerintah Meiji selama tiga tahun. Setelah
dibebaskan, patriot muda tersebut mendaftarkan diri dalam kelompok nasionalisnya
yang pertama, Kyoshi-sha (Perhimpunan Kebangsaan dan Patriotisme). Untuk
pertama kali pula ia berhasil mengumpulkan pengikut. Toyama turun ke jalan dan
mulai mengorganisasi para penjahat di Fukuoka. Anak buahnya menjadi pekerja
yang berdisiplin sekaligus petarung tangguh yang dimanfaatkan guna meminimalkan
tingkat kerusuhan pekerja tambang batu bara di Fukuoka.
Seperti para
pendahulunya, Toyama memperoleh reputasi sebagai Robin Hood lokal. Ia
memberikan uang tanpa menghitungnya lebih dahulu kepada para pengikutnya di
jalan-jalan Fukuoka. Toyama dikenal sebagai "Kaisar Perkampungan
Kumuh" dan dihormati politikus setempat. Tapi, sesungguhnya mereka gentar
terhadap Toyama yang dikenal sering menggunakan kekerasan.
Kemunculan Toyama
ke tataran nasional dimulai sejak mendirikan Gen'yo-sha (Perhimpunan Samudra
Hitam) pada 1881.Gen'yo-sha, federasi perhimpunan kaum nasionalis, adalah nenek
moyang dari perhimpunan rahasia modern dan kelompok patriotik Jepang. Toyama
yang ambisius mengetahui secara pasti tujuan Gen'yo-sha sebenarnya.
Secara langsung ia
mengarahkan organisasi tersebut ke sentimen tinggi kalangan mantan samurai guna
melakukan ekspansi ke luar negeri serta pemerintahan otoriter di dalam negeri.
Bahkan istilah Gen'yo (Samudra Hitam) menyimbolkan ekspansi. Bagi Toyama dan
para pengikutnya, istilah tersebut merujuk pada laut sempit yang memisahkan
Jepang dengan Korea dan Cina.
Pembentuk Federasi Gengster Pertama
Pada 1892, terjadi
fenomena baru di Jepang, yaitu pemilihan umum. Toyama dan kawan-kawannya menyambut
hal itu dengan kerja sama berskala besar yang pertama antara sayap kanan dan
dunia hitam. Gen'yo-sha, yang sudah membuat sejumlah kesepakatan dengan kaum
konservatif dalam pemerintahan Meiji, melancarkan kampanye penuh kekerasan guna
mendukung calon yang masih menjabat dari kalangan konservatif. Hasilnya, pemilu
paling berdarah dalam sejarah Jepang. Secara terbuka, Gen'yo-sha menyatakan
keterlibatannya melalui catatan resmi bahwa tujuan kampanye mereka adalah
menghapus semua organisasi demokratis dan liberal di Fukuoka.
[Kelak, penerus
kelompok Gen'yo-sha bernama Kokuryu-kai alias Perhimpunan Sungai Amur. Kelompok
ini didirikan pada 1901 oleh tangan kanan Toyama bernama Uchida Ryohei. Namanya
sudah mengisyaratkan tujuannya: ekspansi Jepang ke Sungai Amur, yang merupakan
batas antara Manchuria dan Rusia. Di bawah perlindungan dan arahan Toyama,
Kokuryu-kai mendorong Jepang memenangkan perang melawan Rusia, membunuh
politisi, dan melakukan aksi terhadap Cina --sebagaimana dilakukan Gen'yo-sha
terhadap Korea-- untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan invasi Jepang.
Selama 30 tahun
perkembangannya, Kokuryu-kai mendorong Jepang mengadakan perang suci terhadap
kapitalisme, bolshevisme, demokrasi, dan Barat. Walaupun iklim perpolitikan
diganggu oleh pembunuhan, tekanan dari polisi, dan militer yang semakin
memberontak, Jepang tumbuh semakin makmur. Status Toyamai pun meningkat. Ia
disukai oleh politisi terkemuka, bahkan juga menerima uang dari keluarga
Kaisar.]
Prestasi Toyama
selanjutnya adalah pembentukan federasi nasional para gengster yang pertama
pada 1919, yaitu Dai Nippon Kokusui-kai (Perhimpunan Intisari Nasional Jepang
Raya). Organisasi yang beranggotakan lebih dari 60.000 gengster, buruh, dan
ultranasionalis tersebut merupakan hasil karya Toyama dan Tokunami Takejiro,
yang waktu itu menjabat menteri dalam negeri. Kokusui-kai bertindak sebagai
kekuatan pembubar unjuk rasa dan memperkenalkan praktek-praktek kekerasan yang
belum ada sebelumnya ke pergrakan ultranasionalis.
Pada 1944, ketika
berusia 89 tahun, Toyama Mitsuru akhirnya wafat. Ia tetap sempat melihat Jepang
yang sangat dicintainya berhasil menguasai sebagian besar Asia dan Pasifik.
Pengaruhnya terus hidup melalui banyak organisasi yakuza dan sayap kanan.
Selama dua generasi kemudian potret Toyama menghiasi dinding di hampir semua
kantor sayap kanan maupun yakuza. Sayangnya, bapak dari saya kanan Jepang ini
tidak sempat melihat hasil akhir dari kekuatan militan yang ia bangun selama
bertahun-tahun, karena perang telah membawa Jepang ke puncak dan lembah
kekuatan politik hanya dalam empat tahun.
[Setelah menyerah
pada medio Agustus 1945, Jepang berada di bawah kekuasaan tentara pendudukan
Sekutu. Pasukan pendudukan membersihkan pejabat-pejabat lapis atas dalam
pemerintahan dan dunia bisnis negeri sakura itu. Artinya, pasukan pendudukan
meninggalkan kekosongan kekuasaan, sehingga muncul beragam kelompok
oyabun-kobun yang baru, yang menjadi model yakuza berikutnya. Geng terbesar dan
terkuat di antaranya adalah gurentai. Mereka adalah gerombolan mafia muda
bersenjata yang tumbuh subur di seluruh Jepang. Faktanya, dalam carut-marut
kurun masa 1945-1950, pasukan pendudukan gagal dalam melindungi warga Jepang
dari ulah yakuza. Pasukan kedelapan tidak bisa berbuat banyak untuk membendung
kekuasaan gurentai. Pada masa ini, lahir tokoh baru dunia hitam Jepang,
menggantikan Toyama. Namanya Kodama Yoshio.]
Era Baru Pasca-Perang Dunia II.
Kodama Yoshio
dipenjarakan di Penjara Sugamo, Tokyo, dari 1946 sampai akhir 1948. Penjara itu
tempat menahan banyak tersangka penjahat perang yang menunggu pengadilan atau
vonis dari Pengadilan Militer Internasional di Timur Jauh. Kodama termasuk
narapidana kelas A, yakni tingkatan yang ditujukan kepada mereka yang menjabat
dalam kabinet, perwira militer, dan kaum ultranasionalis --Kodama masuk dalam
kelompok yang disebut terakhir.
Penahanan Kodama
bukan hukuman penjara yang pertama, tetapi pasti yang paling menguntungkan.
Hidup tiga tahun dalam penjara merupakan hal yang terpenting. Sebab selama itu
Kodama menjalin atau memperkuat persahabatannya dengan kaum kanan lainnya yang
kelak akan memimpin Jepang. Ketika keluar dari Penjara Sugamo pada umur 37
tahun, Kodama baru saja akan memulai fase baru dari kehidupan lamanya. Melalui
hubungannya dengan kaum kanan, dunia hitam, dan intelijen Amerika, Kodama
menjadi salah satu orang terkuat di Jepang setelah Perang Dunia II. Ia
sekaligus menjadi dalang di balik kenaikan yakuza dalam bidang politik.
Meskipun bukan
sosok yang meyakinkan sebagai teoretisi, Kodama sangat ahli dalam mengorganisasi,
mencatut, dan mengatur aksi penuh kekerasan. Karirnya dimulai pada akhir
1920-an, dengan bergabung dalam sejumlah kelompok ultranasionalis. Ia berguru
kepada Toyama Mitsuru di geng Gen'yo-sha. Pada 1929, ia bergabung dengan
Kenkoku-kai (Asosiasi Pendiri Bangsa) yang didirikan oleh Dr. Uesugi Shinkichi
dan Akao Bin, tokoh kanan Jepang yang terkenal paling berbahaya.
Selepas dari
Penjara Sugamo juga, Kodama mendirikan dua basis kekuatan yang kelak akan
berguna bagi dirinya, yaitu yakuza dan intelijen Amerika. Daolam waktu singkat,
Kodama dapat menunjukkan bahwa ia memiliki dukungan dari yakuza kapan pun ia
membutuhkan mereka. Contohnya adalah insiden pada 1949, ketika ia memimpin
Meiraki-gumi melawan serikat buruh di tambang batu bara Hokutan.
Pada 1950,
sepertinya Kodama tslah memperkuat posisinya sebagai perantara utama untuk G-2
(kepala intelijen militer) dan berbagai kelompok yakuza.
Seorang yakuza
tua, mantan bos geng Takinogawa dari Tokyo, meringkaskan apa yang dilakukan
Kodama dalam sebuah wawancara pada 1984: "Tidak ada seorang pun dari kami,
para bos geng, yang memiliki koneksi dengan GHQ (general headquarters).
Kodama-lah yang berhasil melakukannya." Kodama mampu berkuasa begitu rupa
karena mengetahui elemen penting sebuah kekuasaan: uang. Tidak saja punya
banyak uang, ia juga tahu bagaimana menyebarkannya dengan baik.
Sebaliknya, para
petinggi Amerika Serikat tak segan-segan menggelontorkan uang untuk operasi
penyingkiran orang-orang kiri. Uang dan hubungan istimewa yang diberikan para petinggi
Amerika Serikat kepada kaum kanan dan gengster yang menjadi sekutu mereka
menciptakan struktur kekuasaan yang korup dan bertahan selama beberapa dekade
di Jepang. Sampai sekarang, yakuza melanjutkan peran mereka dalam dunia politik
Jepang, yakni sebagai penyedia uang dan "tukang gebuk".
Posisi yakuza
menjadi jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Mereka terus berperan sebagai
tukang pukul perusahaan dan pembubar unjuk rasa. Hal itu membuat mereka mampu
memperoleh bagian dalam perekonomian yang jangkauannya semakin lama semakin
besar. Mereka menyedot uang dari penduduk Jepang jauh melebihi jasa yang mereka
berikan. Para politisi kanan Jepang juga memperoleh manfaat dengan memiliki
pasukan yakuza pribadi.
Namun, ada yang
merisaukan banyak generasi tua yakuza: perubahan nilai yang dianut generasi
muda di abad ke-21. Seperti diisyaratkan Inagawa Kakuji, oyabun kelompok
Inagawa-kai, geng ketiga terbesar di Jepang. "Suatu saat nanti, yakuza
akan seperti mafia Amerika. Di masa yang akan datang, hanya akan ada satu
gengster nasional. Layaknya organisasi saya, perusahaan-perusahaan yang lebih
besar akan mengambil alih. Anda akan melihat pergerakan menuju korporasi."
Inagawa
jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya atas perubahan tersebut. "Mafia
rela membunuh demi mendapatkan keuntungan. Sementara yakuza harus menghormati
moral dan peraturan dan mematuhinya, hanya tradisi ini mulai memudar. Segalanya
akan lebih mudah kalau kita bisa membalik waktu. Kesenjangan generasilah yang
saya khawatirkan."
Inagawa tidak sendirian.
Hal yang paling sering dikeluhkan para ketua dunia hitam Jepang zaman sekarang
adalah sikap yakuza-yakuza baru yang dianggap lebih kejam, kurang patuh pada
atasan, dan lebih tertarik untuk menggali keuntungan besar ketimbang
menghormati tradisi feodal. Sebagaimana dikatakan bos yakuza Kyoto, Takayama
Tokutaro, kepada seorang wartawan, "Sekarang mereka sudah tidak lagi
menghiraukan kewajiban, tradisi, kehormatan, dan harga diri. Tidak ada lagi
peraturan."
Fakta terburuk
bagi para godfathers yang semakin tua itu adalah bahwa mereka tidak bisa
berbuat banyak. Mereka tidak lagi memegang kendali penuh terhadap generasi yang
dibesarkan dengan pesawat jet untuk berwisata, geng-geng motor, televisi, dan
kredit konsumennya yang semakin besar. Selesai
Sumber : Arsip Majalah Gatra
0 Comments: