SERBA SEPUH –
Soegeng rawoeh doeloer. Ketika dengar kata Afrika? Sebagian besar dari kita
akan mengatakan orang berkulit hitam, pandai mengolah si kulit bundar dan
jaringan pengedar narkoba, tapi ternyata orang Afrika sudah masuk ke tanah Jawa
pada abad ke 19, ia hidup berbaur dengan masyarakat Jawa.
Prajurit Afrika di
bekali dengan latihan militer di Jawa. Usai pendidikan militer mereka
diterjunkan ke beberapa wilayan Indonesia yakni, Sumatra, Borneo (Kalimantan),
Celebes (Sulawesi), Bali, Timor, dan perang Aceh. Tahun 1873-1893, ia (prajurit
Afrika) ikut andil dalam menumpas pemberontak di Borneo, Celebes, Bali kepulauan
Maluku dan Timor dan di andalkan dalam perang Padri dan Aceh.
Setelah misi para
Prajurit Afrika selesai, mereka tinggal di berbagai wilayah di Indonesia. Namun
seiring berjalannya waktu, dari tahun ke tahun semakin bertambah, untuk
menghidari gesekan dengan orang Jawa, pemerintah Hindia Belanda mengambil
inisiatif membangun perkampungan. Terbitlah SK
tertanggal 30 Agustus 1859, No. 25. Gubernemen Belanda membeli tanah di
Desa Pangenjuru Tengah, Purworejo, Jawa Tengah. Di peruntukan bagi mantan
prajurit Afrika, tiap satu orang mendapatkan luas tanah 1150 m², tanah tersebut di bangun rumah dan
selebihnya buat cocok tanam.
Siapa mereka ini,
darimana asal-usulnya, mengapa dan bagaimana mereka bisa berada di Purworejo,
sampai berkembang biak dan bermasyarakat, dan hidup dalam kompleks perkampungan
di daerah Pangen itu? Dan selanjutnya, mengapa pada satu saat tiba-tiba
menghilang hampir tanpa bekas, ibarat kabur terbawa angin. Sungguh kisah yang menarik, dan berdasar atas
apa yang saya baca dari kepustakaan yang ada*) dan observasi lapangan secara
pribadi berikut ini adalah yang bisa diceritakan secara singkat.
Bermula dari jaman
Perang Diponegoro (1825-’30), Belanda “kehilangan” sekitar 8000 tentara kulit
putih, baik yang gugur dalam pertempuran maupun korban penyakit tropis. Serdadu
itu direkrut dari berbagai negara Eropah, khususnya Jerman, sebagai prajurit
bayaran. Belanda sendiri sebagai negara kecil tidak mungkin menyediakan
tentara, yang kemudian menjadi korban, sebanyak itu. Sebagai contoh, Belanda
tahun 1827 ditengah-tengah berkecamuknya Perang Diponegoro, mengirim bantuan
pasukan satu resimen terdiri dari 3000 orang tentara bayaran kulit putih. Dua
tahun kemudian resimen tersebut tinggal 1000 orang. Itulah dahsyatnya Perang
Diponegoro yang oleh Belanda dinamakan “Perang Jawa” (Java Oorlog), perang yang
paling berdarah dalam sejarah perang kolonial Belanda, dalam jumlah korban,
tenaga-pikiran dan keuangan Belanda.
Dengan berakhirnya
Perang Diponegoro, Belanda mulai berpikir bila nanti ada peperangan lagi di
daerah jajahannya, dari mana mereka merekrut pasukan, disamping mahal biayanya
juga adanya pembatasan-pembatasan dari negara yang bersangkutan untuk tidak
memperbolehkan warganya di rekrut sebagai serdadu bayaran.
Gubernur Jendral
waktu itu, Van den Bosch, yang kemudian dikenal juga sebagai arsitek tanam
paksa Cultuur Stelsel, mengusulkan sebuah solusi dengan merekrut tentara yang
berasal dari Afrika Barat dari negara-negara yang kini bernama Ghana dan
Burkina Fasau. Di sana Belanda memang memiliki pos-pos perdagangan/benteng yang
kemudian dapat dimanfaatkan untuk maksud rekrutmen tersebut. Alasannya
disamping murah, berani perang, orang Afrika dinilai lebih tahan menghadapi
iklim dan penyakit di daerah tropis.
Dengan berbagai
akal dan usaha, antara lain dengan membeli budak-budak dari raja setempat, 100
gulden per kepala, Belanda berhasil merekrut tentara bayaran Afrika. Pengiriman
terjadi dalam beberapa gelombang: antara tahun 1831-1836, sebanyak 112 orang,
tahun 1837-1841, sebanyak 2100 orang dan antara tahun 1860-1872, 800 orang.
Jumlah seluruhnya lebih dari 3000 orang, seluruhnya berstatus bujangan.
Serdadu bayaran
dari Afrika tersebut bekerja berdasar kontrak untuk 12 tahun dan dapat
diperpanjang, dengan gaji 20 gulden/bulan. Gaji 20 gulden itu masih harus
dipotong angsuran untuk mengembalikan ongkos “pembeliannya” yang 100 gulden.
Mereka secara hukum berstatus sama dengan serdadu Belanda putih, kecuali
gajinya yang hanya setengahnya. Dan untuk membedakan mereka dengan Belanda
putih, mereka dinamakan Zwarte Hollanders, Belanda Hitam, atau Londo Ireng.
Mereka disebar
keberbagai lokasi, Semarang, Salatiga dan Solo, namun sebagian besar
ditempatkan di Garnisun Purworejo pada Tangsi Militer Kedungkebo yang baru
selesai dibangun permulaan tahun 1830-an. Pembangunan tangsi besar dan
penempatan serdadu hitam di Purworejo itu bukan tanpa alasan. Di daerah Bagelen
ini Belanda menderita banyak kekalahan selama Perang Diponegoro dengan jatuhnya
korban terbesar diantara serdadunya, sehingga diperlukan cara khusus untuk
mengatasi. Tidak kurang dari 25 benteng dibangun diseluruh daerah Bagelen (
dari Kedungkebo sampai ke Petanahan/Kebumen), inilah yang mereka namakan
strategi “benteng stelsel” hasil rekayasa Jendral de Kock, untuk mengepung dan
mempersempit gerak pasukan Diponegoro. Yang dekat Purworejo antara lain adalah
benteng Kedungkebo, Bubutan, Lengis. Ke Barat Ambal dan Petanahan. Kekuatan
pasukan Diponegoro menyebar sepanjang pantai selatan Bagelen, Urut Sewu,
sehingga dari dulu sejak saya masih kecil, sampai sekarang, jalan sepanjang
daerah itu dikenal dengan nama Jalan Diponegoro.
Dengan selesainya
Perang tahun 1830, Belanda menilai bahwa daerah Bagelen adalah daerah rawan
yang memerlukan perhatian khusus, mengingat pengikut Diponegoro masih cukup
banyak dan kuat. Dibangunlah tangsi militer besar di Kedungkebo yang masih
bertahan kokoh sampai saat ini. Kemampuan militer Belanda untuk daerah Bagelen
dengan sendirinya juga diperbesar. Penempatan serdadu kulit putih dan pribumi
dalam jumlah yang besar, sekitar satu batalyon, itu belum menjamin rasa aman
Belanda, sehingga dirasa perlu untuk menempatkan serdadu Afrika sebanyak tiga
kompi, di garnisun Purworejo yang berlangsung dari tahun 1831-1872.
Uji coba serdadu
Afrika tersebut dimulai di Lampung, Sumatra Selatan yang nampak kurang
memuaskan, kemudian dalam Perang Paderi di Sumatra Barat dimana sudah nampak
kelebihan orang Afrika ini, namun yang dianggap sukses oleh Belanda adalah ikut
sertanya 536 serdadu Afrika dalam pasukan yang berkekuatan 7500 orang dalam
ekspedisi ketiga penaklukan Bali tahun 1849, (Perang Buleleng) yang berakhir
dengan ditundukkannya raja Bali setelah jatuhnya benteng Jagaraga (Singaraja).
Setelah ekspedisi berakhir sebanyak 41 orang serdadu Afrika mendapat tanda
penghargaan dan citra mereka naik tinggi dimata orang Belanda.
Setelah itu
serdadu Afrika ikut aktif dalam ekspedisi ke Timor, Sulawesi, Kalimantan dan
tentu saja dalam perang Aceh. Disini seorang perwira dalam laporannya mengatakan
bahwa “orang Afrika adalah serdadu-serdadu terbaik dalam KNIL (Serdadu Hindia
Belanda)” dan “memperhatikan bahwa orang Aceh sangat segan terhadap orang
Afrika”.
Belanda tidak
menutup mata terhadap prestasi dan jasa orang Afrika ini. Mengingat kedatangan
mereka berstatus “bujangan”, mereka menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan
perempuan setempat, ada yang sekedar kumpul kebo, namun banyak yang berujung
dengan pernikahan. Mereka membangun kehidupan rumah tangga dan sewaktu kontrak
mereka habis, mereka yang tidak ingin kembali ke Afrika, memutuskan untuk
menetap ditempat dimana mereka terakhir ditugaskan. Inilah kiranya cikal-bakal
masyarakat Afrika , khususnya di Purworejo. Mereka hidup di luar tangsi dan
membaur dengan masyarakat setempat bersama isteri penduduk pribumi dan
anak-anak turunan mereka, yang mendapat julukan Indo Afrika.
Keadaan ini
nampaknya menjadi perhatian pemerintah Belanda. Sejalan dengan makin
tumbuh-berkembangnya kelompok keluarga Afrika ini dan mengingat akan jasa-jasa
mereka, juga alasan praktis agar dalam keadaan darurat bisa sewaktu-waktu
dikerahkan, Pemerintah Belanda melalui keputusannya tertanggal 30 Agustus 1859,
membeli sebidang tanah di Pangen Jurutengah yang di khususkan bagi pemukiman
warga Afrika. Setiap keluarga mendapat jatah 1.151 meter persegi untuk dibangun
rumah sekaligus lahan garapan untuk berkebun dan bertani. Dengan bantuan
pemerintah Belanda ini tumbuhlah perkampungan/hunian masyarakat Afrika di
Purworejo yang masih mempertahankan ciri-ciri identitas keafrikaannya. Inilah
satu satunya hunian masyarakat Afrika di Indonesia, atau yang dikenal sebagai
“Kampung Afrikan” di Purworejo, yang juga menjadi acuan/tempat berkumpul bagi
masyarakat Afrika dari daerah-daerah/kota lainnya.
Walupun mereka
hidup dalam hunian khusus, namun hubungan dengan masyarakat pribumi sekitarnya
relatif berlangsung baik dan harmonis dengan prinsip hidup berdampingan secara
damai. Dan jangan dilupakan bahwa anak/turunan mereka itu hakekatnya adalah
hasil dari perkawinan dengan wanita-wanita setempat juga. Dalam catatan
terakhir ada sekitar 25 keluarga Afrika yang terdaftar sebagai pemilik
tanah/rumah dengan jumlah warga sekitar 90 orang yang tinggal di Kampung
Afrikan tersebut. Nampaknya masyarakat Purworejo menerima keberadaan mereka
secara wajar dan ini membuktikan bahwa toleransi penduduk/masyarakat Purworejo
sejak jaman dulu memang telah teruji.
Satu satunya
insiden yang dilaporkan terjadi sekitar tahun 1910, sewaktu Pak Oerip
Sumoharjo, salah satu pendiri TNI, yang waktu itu berusia 17 tahun
“mengerahkan” pasukan pemuda dari Sindurjan (perkampungan sebelah barat
alun-alun) “mengepung dan menyerbu” hunian orang Afrika pada suatu senja dengan
meneriakkan “Londo ireng toentheng, iroenge menthol, soearane bindheng”
(Belanda hitam legam, hidungnya besar, suaranganya sengau). Pak Oerip yang
bersekolah Belanda bersama Indo Afrika merasa dihina oleh mereka yang
mengatakan “tubuhnya kecil dan bahasa Belanda-nya jelek”, berbeda dengan mereka
yang besar dan berbahasa Belanda bagus dan tanpa aksen. Insiden tersebut dapat
diselesaikan. Ayah Pak Oerip berjanji akan menegor anaknya, namun mereka juga
minta agar pemuda Afrika tidak akan mengulangi ucapannya.
Surutnya
Kampung Afrikan.
Jatuhnya
Pemerintah Hindia Belanda bulan Maret 1942, datangnya pendudukan Jepang dan
kemudian disusul dengan Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 adalah pertanda jaman
dan berpengaruh sangat menentukan bagi keberadaan Kampung Afrikan di Purworejo.
Selama pendudukan Jepang, kampung Afrika tidak terlalu diusik karena dianggap
bukan orang Belanda, walaupun berstatus hukum Belanda. Hanya sebahagian dari
mereka yang aktif dalam ketentaraan ditangkap dan dimasukkan dalam kamp tahanan
bersama dengan Belanda. Keadaan berubah setelah Indonesia merdeka.
Orang-orang
Afrika yang memang berstatus hukum sebagai “Belanda Hitam” digolongkan sama
dengan orang Belanda dan diperlakukan sama dengan Belanda. Kampung Afrikan di
Purworejo dengan demikian kehilangan hak hidupnya, harus dikosongkan dan
penghunianya dipindahkan, sementara ke Gombong untuk kemudian ke
Jakarta/Bandung dan seterusnya di repatriasikan ke negeri Belanda. Ini sesuai
dengan keinginan mereka juga yang menyatakan “Saya orang Belanda dan tidak
ingin jadi orang Indonesia”. Sebelumnya Bung Karno, sewaktu jadi mahasiswa di
Bandung mengatakan kepada temannya seorang Indo Afrika: “…tidak ada tempat bagi
Belanda Hitam di Indonesia Merdeka karena kalian dulu bergabung dengan Belanda
untuk berperang melawan Indonesia”.
Sejarah
yang Terlupakan.
Kini, seratus
delapan puluh tahun kemudian sejak pertama kedatangan serdadu Afrika di Hindia
Belanda dan seratus limapuluh tahun sejak berdirinya Kampung Afrikan atau
sekitar 67 tahun sejak pengosongan Kampung itu, jejak-jejak keberadaan mereka
di Purworejo nyaris hilang tidak berbekas. Beberapa rumah-rumah asli yang
tersisa dan tanah-tanah yang mereka miliki telah berpindah kepemilikannya
secara sah lewat proses jual-beli kepada warga Indonesia, dan Kampung Afrikan
telah berobah menjadi kampung/hunian warga Indonesia biasa sebagimana
kampung-kampung lainnya. Tidak ada “sisa” orang Afrika di tempat tersebut
bahkan keturunannya juga sulit untuk dilacak di Purworejo. Saya diberitahu
bahwa ada keluarga keturunan Afrika di Purworejo garis ketiga yang nikah dengan
orang Timor, namun saya tidak berhasil menemukan alamatnya. Sementara itu Mas
Gunarso dari Blogger Purworejo mengatakan bahwa salah seorang anggota
keluarganya, masih kepernah Pak De nya, ada yang punya darah Indo Afrika.
Sekarang ini
keturunan mereka kadang-kadang berombongan datang dari negeri Belanda sebagai
wisatawan untuk “napak tilas” sejarah para leluhurnya, dengan mengunjungi
bekas/situs “Kampung Afrikan”, tempat dimana nenek-kakek mereka dilahirkan dan
tinggal, yang menceritakan betapa mereka menikmati kehidupan yang bahagia waktu
itu, dan melihat Sukarno “sebagai orang yang mengusir dirinya dari surga masa
mudanya”. Apa yang sekarang dapat mereka saksikan adalah beberapa gedung asli
tempat hunian nenek-kakek mereka dan nama jalan/gang yang telah diabadikan
sebagai “Gang Afrikan I dan Gang Afrikan II”. Nama-nama itupun tadinya sudah
diganti dengan nama Gang Koplak, tempat kusir delman ”mengombor” kuda mereka,
dan hanya karena protes para sejarawan yang didukung para penghuni, maka nama
asli Gang tersebut dikembalikan ke aslinya. Mereka juga pergi ke Kerkop (makam
Belanda) dibelakang Lembaga Pemasyarakatan, dan menemukan beberapa nisan dari
para leluhur mereka yang masih tersisa, antara lain dengan inskripsi/tulisan
dalam bahasa Belanda yang kabur dan susah dibaca:
“Disini
beristirahat, Ayah kami tercinta P.de Ruiter, Lahir di Afrika dan meninggal
tanggal 4 September 1900 dalam usia 75 tahun di Purworejo”.
Serdadu Afrika di
Hindia Belanda 1831-1945 oleh Ineke van Kessel, 2005/2011.
Dinamika
Masyarakat Pendatang Dari Afrika Di Purworejo (Suatu kajian Historis
Sosiologis) oleh Dra Endri Kusruri,
2001.
Sumbernya dari Sini
0 Comments: