SERBA SEPUH – Doeloer, pada zaman Hindia Belanda dulu, hukuman mati menjadi pemandangan umum. Bicara soal hukuman mati di Batavia, ter...

Foto Hukuman Gantung dan Hukum Pecah Kulit Zaman Kolonial


SERBA SEPUH – Doeloer, pada zaman Hindia Belanda dulu, hukuman mati menjadi pemandangan umum. Bicara soal hukuman mati di Batavia, ternyata jumlahnya cukup banyak, khususnya dari data yang diperoleh dari awal abad ke-18. Data itu menjelaskan perbandingan antara hukuman mati di Amsterdam dan Batavia, di mana Amsterdam yang jumlah penduduknya 210.000 orang, rata-rata terjadi lima hukuman mati per tahun. Sedangkan di Batavia waktu itu, yang cuma dihuni oleh 130.000 orang, pelaksanaan hukuman mati bisa dua kali lebih besar daripada jumlah orang yang dihukum mati di Amsterdam per tahun. Padahal aturan dan hukuman ala VOC ini sudah berlangsung sejak abad 17.

Hukuman itu berbeda-beda tiap kelompok. Misalnya, VOC yang sejak 1602 diberi hak monopoli dagang, menjadikan segala urusan hukum dan peraturan di Batavia dan tanah jajahannya yang lain menjadi bagian dari hak prerogatif VOC. Namun kemudian masalah berkembang karena yang bermasalah adalah bangsanya atau pegawai mereka sendiri. Di kemudian hari, dalam Kota Batavia yang sudah multietnis sejak masa awal berdirinya, aturan dan hukuman itu kemudian sering menjadi masalah: mana aturan dan hukum yang harus diberlakukan; aturan VOC atau aturan Kerajaan.

Pada 1621, Kelompok 17 atau Heeren Zeventien, memutuskan bahwa semua hukuman dan aturan yang berlaku di republik di mana Hereen Zeventien berkuasa, berlaku pula di Hindia Belanda. Adalah Joan Maatsuycker, ahli hukum yang juga sempat menjadi gubernur jenderal, yang kemudian menyusun hukum kolonial yang kemudian disebut Bataviasche Ordonnanties. Hukum ini memperbolehkan hukuman mati bagi terdakwa yang sudah mengakui perbuatannya, dengan cara apapun.


Agar terdakwa mau mengaku, jaksa penuntut pastinya sudah menginterogasi terdakwa, dengan siksaan yang sangat kejam . Di salah satu ruang di Balai Kota /Stadhuis diyakini merupakan tempat penyiksaan tahanan. Hanya saja belum diketahui di mana tepatnya ruang interogasi itu. Intinya tahanan disiksa agar mengaku, kemungkinan besar mengaku karena dipaksa. Dan para hakim masa bodoh dengan teriakan para tahanan yang disiksa.

Eksekusi hukuman mati biasanya dilakukan di depan Balai Kota dengan disaksikan hakim dari lantai atas. Pada zaman VOC, hukuman untuk pejahat sangatlah keras. Tapi walaupun begitu, biasanya pelaksanaan hukuman mati menjadi 'tontonan' bagi masyarakat sekitarnya, yang pastinya tidak pernah berharap suatu hari merekalah yang berganti menjadi 'tontonan' disana!

Balai Kota Batavia yang sekarang alih fungsi menjadi Museum Fatahillah


Kalau foto di bawah ini di ambil sekitar tahun 1869-1870, sayang tidak disebutkan nama tempatnya. Namun bisa terlihat jelas kalau telah dilaksanakan hukuman gantung dan tampaknya orang disekitarnya yang sedang memegang benda berwarna putih (mungkin papan nama) juga menunggu untuk di eksekusi. Eksekusi ini tampaknya di jaga oleh pasukan berkuda hindia Belanda.


Nah, kalau yang ini diambil sekitar tahun 1890-1910 bertempat di Jambi, yang dieksekusi merupakan para terdakwa pembunuhan.


Hukuman gantung pada masa kolonial untuk para kriminal di Batavia, eksekusinya biasanya dilaksanakan di Stadhuisplein (Lapangan Balai Kota) yang kini menjadi Taman Fatahillah di Kota Tua. Namun, pada awal abad ke-20, eksekusi hukuman mati tidak lagi dilakukan di Stadhuisplein, melainkan dilakukan secara tertutup atau bukan di tempat umum. Ketika hukuman gantung berlangsung di Stadhuisplein, si terpidana biasanya dieksekusi mati di tiang gantungan atau dengan pedang, atau bisa juga dengan semacam guillotine (alat eksekusi terkenal zaman Revolusi Prancis dulu).

Sejarah mencatat, eksekusi hukuman gantung terakhir yang dilaksanakan di Stadhuisplein ini adalah terhadap seorang perampok bernama Tjoe Boen Tjiang, pada tahun 1896. Justus van Maurik, yang berkunjung ke Batavia dan menyaksikan secara langsung eksekusi itu, menuliskan dalam jurnalnya Indrukken van een "Totok", Indische Type en Schetsen bahwa pelaksanaan hukuman gantung atas Tjoe Boen Tjiang pada pukul 07:00 pagi itu dihadiri penuh sesak oleh masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari pribumi, Tionghoa, Arab, Eropa, orang Keling hingga Peranakan. Tjoe Boen Tjiang, pemuda Tionghoa bersosok tinggi dan tampan yang dikenal juga dengan nama Impeh ini, terbukti telah merampok dan membunuh dua orang perempuan dengan kejam.

Namun anehnya, saat pelaksanaan eksekusi terhadap Tjoe Boen Tjiang ini, yang paling banyak datang menyaksikan justru adalah kaum wanita! Rupanya mereka bersimpati kepada para wanita korban kekejaman Tjoe Boen Tjiang. Yang jelas, hati wanita tempo doeloe ternyata lebih kuat karena tidak gentar menyaksikan hukuman mati yang mengerikan itu.

Lokasi lapangan di mana hukuman mati atas Tjoe Boen Tjiang itu hingga kini masih bisa disaksikan, di Lapangan Museum Sejarah Jakarta atau yang dikenal juga sebagai Taman Fatahillah sekarang.


Yang terakhir ini yang paling sadis
Yaitu hukuman pecah kulit. Dimana kedua tangan dan Kaki nya di ikatkan pada masing-masing seekor kuda, terus pas keempat kuda itu di pecut untuk lari, badan si terhukum akan tertarik keempat arah dan akhirnya terpisah.

Tugu peringatan Pieter Erberveld di sekitar tahun 1885


Pieter Erberveld (juga Pieter Erberfeld atau Peter Elberfeld, lahir Ceylon, ???? - meninggal Batavia, 12 April 1722) adalah seorang tokoh yang tercatat pernah dihukum mati oleh VOC pada tahun 1721 karena dianggap memimpin konspirasi dan sejumlah kekacauan yang bertujuan menentang kekuasaaan VOC.

Elberfeld adalah orang Indo Jerman-Siam namun kemudian bekerja di Batavia. Nama keluarganya menunjukkan bahwa keluarganya berasal dari Elberfeld, yang sekarang menjadi bagian dari kota Wuppertal (NRW), Jerman. Ayahnya datang ke Batavia sebagai penyamak kulit. Setelah ia diangkat sebagai anggota Heemraad untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol, ia menjadi tuan tanah. Kekayaan ini diwariskan kepada anaknya.

Menurut versi VOC, Elberfeld bersekongkol dengan beberapa pejabat Banten di Batavia untuk membunuhi orang Belanda pada suatu perayaan pesta. VOC juga menuduh ia bersekongkol dengan keturunan Surapati di Jawa bagian timur. Tidak diketahui motivasi Elberfeld sesungguhnya, apakah ia memang ingin membantu orang Banten (dipimpin Raden Kartadriya) menguasai kembali Batavia, atau ia memiliki rencana sendiri, apabila Belanda enyah dari sana, karena ia sakit hati atas perlakuan Gubernur Jenderal Johan van Hoorn yang telah menyita tanahnya.



Rencana pembunuhan ini bocor karena ada budak yang melapor ke VOC. Versi lain mengatakan, kalau Sultan Banten-lah yang membocorkan karena ia khawatir akan pengaruh Elberfeld dan Kartadriya yang akan merongrong kekuasaannya.

Godee Molsbergen, yang menulis tentang peristiwa itu, melihat banyak kejanggalan pada tuduhan yang dialamatkan VOC terhadap Elberfeld.

Ia dihukum mati bersama dengan Kartadriya dan 17 orang penduduk asli lainnya di halaman selatan Benteng Batavia, bukan di halaman Balai Kota. Pelaksanaan hukuman mati itu digambarkan sangat sadis, dilakukan dengan menarik kedua tangan dan kaki, masing-masing diikat pada seekor kuda. Akibatnya, tubuhnya terpotong. Hal ini dilakukan VOC untuk memberikan efek jera kepada penduduk agar tidak lagi mencoba-coba melakukan perlawanan pada mereka.


Tubuh Elberfeld dimakamkan di suatu sudut di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta sekarang dan di sana kemudian didirikan suatu tugu peringatan. Di tugu itu dipajang tengkorak Elberfeld yang ditusuk tombak dan di bawahnya terdapat prasasti. Saat kedatangan Jepang 1942, tugu itu dihancurkan namun prasastinya dapat diselamatkan. Replikanya kemudian didirikan kembali. Sejak tahun 1985 tugu itu kemudian dipindahkan ke Museum Prasasti Jakarta karena tempat tugu itu berdiri dijadikan ruang pamer mobil. Kampung tempat makam ini sekarang dinamakan Kampung Pecah Kulit, konon karena kulit Elberfeld terkelupas akibat hukuman itu. [wikipedia]

0 Comments: