Serba Sepuh - Harta, tahta, dan wanita. Itulah visi dan misi alami seorang pria. Siapapun yang memiliki harta, dia bisa mendapatkan taht...

Yurike Sanger : Kisah Cinta Wanita Belia dengan Lelaki Flamboyan

Serba Sepuh - Harta, tahta, dan wanita. Itulah visi dan misi alami seorang pria. Siapapun yang memiliki harta, dia bisa mendapatkan tahta dan wanita, atau dibalik siapapun yang memiliki tahta, tak sulit mendapatkan harta dan wanita. Namun, dengan wanita, harta dan tahta bisa melayang seketika. LHI, Djoko Susilo, Silvio Berlusconi, dan sederet nama lainnya sudah membuktikan.

Presiden Republik Indonesia pertama sekaligus Bapak Proklamator kita sendiri pun terkenal sebagai penakhluk wanita sejati. Dengan tahtanya, dia memang tidak silau dengan harta, namun saat bertatap mata dengan wanita muda, hatinya akan selalu diliput gundah gulana sesudahnya. Mari kita susuri kembali sisi lain Singa Podium nan garang ini, Ir. Sukarno.

Kita mulai dari istri pertama Bung Karno, yakni Oetari. Oetari ini adalah putri sulung tokoh pergerakan nasional sekaligus bapak kos Bung Karno saat sekolah di Surabaya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Oetari dinikahi Kusno (nama kecil Bung Karno) saat masih berusia 16 tahun atau. Saat itu, Sukarno belum genap berusia 20 tahun. Pernikahan mereka hanya seumur jagung begitu Sukarno mengenal Inggit Garnasih, ibu kosnya saat kuliah di (sekarang) ITB Bandung.

ABG lain yang dinikahi Bung Karno yakni Naoko Nemoto, kelak dia mengubah namanya menjadi Ratna Sari Dewi. Dia berkenalan dengan Presiden Sukarno saat bertemu di Hotel Imperial Tokyo Jepang sekitar tahun 1958, saat itu dia berstatus pelajar sekaligus entertainer berusia 19 tahun.

Selanjutnya, Presiden Sukarno menikahi pelajar kelas II SMA 7 Jakarta pada 6 Agustus 1964. Yurike Sanger, seorang gadis bongsor anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika yang sering mengisi acara kenegaraan. Meski masih begitu besar cintanya, pada 1967 Bung Karno menyuruh Yurike menggugat cerai dirinya mengingat keadaan dirinya yang cukup payah setelah dijatuhkan Letjen Soeharto, presiden kedua RI. ABG belian inilah yang akan kita bahas lebih jauh dalam artikel ini.

Wanita muda terakhir yang dinikahi Bung Karno adalah Heldy Djafar. Dia adalah gadis keturunan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Keduanya menikah pada 1966 saat Bung Karno berusia 65 tahun dan Heldy masih 18 tahun. Situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu membuat pernikahan terakhir Sukarno tidak berlangsung lama. Setahun setelah bercerai, pada 19 Juni 1968 Heldy 21 tahun dinikahi Gusti Suriansyah Noor.

Dari kesembilan istri Bung Karno, yang menurut saya paling istimewa adalah Ibu Fatmawati. Dari dirinyalah lahir putra putri Sukarno yang ikut mewarnai sejarah perjalanan bangsa Indonesia, puncaknya tentu ketika Megawati Sukarnoputri menjadi presiden wanita pertama RI. Hampir lupa, saat dinikahi Sukarno, Ibu Fatmawati juga masih tergolong muda meski sudah bukan ABG lagi, 20 tahun.

Sepanjang hidupnya, Bung Karno penuh dengan kontroversi. Ia, seperti juga tokoh-tokoh lain sezamannya, keluar-masuk bui demi mempertahankan cita-cita Indonesia merdeka. Pada masanya, ia berani menantang negara adikuat Amerika-Inggris demi keyakinannya pada kemerdekaan bangsa-bangsa, lepas dari pengaruh bentuk penjajahan baru yang disebutnya neokolonialisme. Tapi ia juga sosok kontroversial dalam soal percintaan. Tercatat, ada delapan wanita yang dinikahinya secara sah sepanjang hidupnya.

Berikut kisah cinta Bung Karno dengan salah satu dari mereka yang pernah mengundang heboh juga. Yurike Sanger menuturkan kisah itu dalam memoarnya yang ditulis wartawan senior Kadjat Adra'i berikut ini. Kisah serupa pernah diangkat Kadjat dalam tulisan bersambung di beberapa majalah pada 1980-an. -------------

Menjadi istri Bung Karno merupakan suratan nasib dan kehendak Tuhan. Begitulah Yurike mengawali kisahnya. Ia mengaku, hal itu sama sekali bukan kemauannya sejak awal, juga bukan jenis impian murid SMA yang pada waktu itu masih senang bermain karet gelang. Lagi pula, sejak awal mengenal Bung Karno, Yurike yang bukan siapa-siapa itu merasa sangat tidak pantas menerjemahkan isyarat yang ditampakkan Bung Karno sejak awal sebagai rasa cinta seorang lelaki kepada seorang perempuan. Perjalanan nasib pula yang membuat Yurike harus melupakan impiannya menjadi pramugari.

Berawal dari kedatangan seorang bintang film bernama Dahlia ke sekolahnya pada awal 1963. Rupanya, sang bintang film itu sudah lama mengamati dan mengincar Yurike untuk dijadikan anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika, sebuah kelompok remaja berjumlah 50 pasang yang tampil mengenakan pakaian adat Indonesia pada acara-acara kepresidenan.

Babak baru dalam kehidupannya makin jelas terasa setelah benar-benar masuk dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika itu. Setelah mendapat bimbingan dan pengarahan secukupnya, ia pun resmi menjadi anggota. Pertama kali terjun dalam kelompok itu pada sebuah acara kepresidenan yang digelar di Istora (Istana Olahraga) Bung Karno. "Aku yang merupakan anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika termuda tampil dengan kebaya Jawa," tulis dia mengenang peristiwa itu.

Kejutan berikutnya berlangsung ketika pertama kali tampil itu. Yurike mengaku sangat canggung karena ini merupakan pengalaman baru. Keringat dingin terasa mengalir di tengkuknya pada saat Bung Karno justru berhenti tepat di hadapannya ketika melewati Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa diduga, sang presiden malah menyapa dan menyempatkan diri berdialog singkat dengannya.

"Bermimpikah aku? Bung Karno memperhatikanku lebih dari sekilas. Barangkali karena tahu aku pendatang baru dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, (Bung Karno) lalu bertanya, 'Siapa namamu?'." Yurike menjawab semua pertanyaan singkat presiden dengan perasaan campur aduk: bingung, malu, dan bangga. Apalagi, Bung Karno sempat terkecoh oleh posturnya yang bongsor, sehingga menyangka Yurike yang masih duduk di bangku SMP itu seorang mahasiswi.

Dalam perkenalan singkat itu juga, sebelum berlalu, Bung Karno mengatakan kepadanya sebaiknya tidak memakai nama dengan akhiran "ke" atau "ce". "Pakai Yuri saja. Nama dengan embel-embel 'ke' atau 'ce' itu kebarat-baratan, tidak sesuai dengan kepribadian nasional kita." Yurike pun hanya mengangguk mengiyakan.

Yurike tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya sejak tatapan pertama dengan Bung Karno itu. "Matanya yang jernih dan terang itu sepertinya hinggap ke pusat mataku dan sampai kapan pun tak bisa kulukiskan dengan jelas. Bicaranya mantap, wajahnya tampan, dan makin tampak gagah dengan jas cokelat tua yang dipenuhi atribut resmi di kedua pundak dan dada kirinya. Secara kebetulan pula, warna cokelat tua memang warna favoritku," tulis dia.

Seiring dengan keterlibatannya yang makin intens dalam kegiatan Barisan Bhinneka Tunggal Ika, makin sering pula ia bertemu dengan Bung Karno. Yurike mengungkapkan beragam perhatian khusus yang diberikan Bung Besar itu kepada dirinya. Bermula dari sekadar menyuruh duduk di dekatnya ketika ada acara resmi di istana, juga dengan mengambilkan kue tradisional dari meja.

Untuk itu, Yurike menulis kenangannya. "Perhatian Presiden Soekarno kepadaku memang terasa agak khusus. Di antara puluhan gadis yang tergabung dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, menurut pengamatanku, jarang sekali yang menerima perlakuan demikian. Aku tidak pernah berpikir bahwa hal itu akan berlanjut menjadi hubungan yang lebih serius."


Diantar Pulang Bung Karno

Suatu ketika di Istana Bogor, setelah acara resmi usai, Yurike bersantai seperti biasa ia lakukan: mengobrol dengan para pengawal. Tiba-tiba Bung Karno berteriak-teriak memanggil namanya. Pada saat itu, Presiden Soekarno sedang menikmati makan malam satu meja dengan tamu-tamunya. Ia diminta duduk di sebuah kursi yang tampak sengaja dikosongkan persis di sebelah RI-1 itu.

Pada saat yang lain, ia didatangi kepala pool kendaraan istana yang menyampaikan perintah Bung Karno kepadanya. Yurike disuruh memakai salah satu mobil istana untuk antar-jemput setiap kali mengikuti agenda Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Yurike tampaknya ingat betul momen itu. "Tawaran menggunakan mobil istana tersebut disampaikan beberapa hari menjelang peristiwa fenomenal dalam dunia olahraga: Games of the New Emerging Forces (Ganefo) I yang upacara pembukaannya dilakukan pada 1 November 1963 di Stadion Utama Gelora Bung Karno," tulis dia.

Malah peristiwa berikutnya pada masa itu makin di luar dugaan Yurike. Keistimewaan yang didapatkannya terus diikuti dengan keistimewaan lain yang lebih besar. Pada saat pembukaan Ganefo itu, petugas protokol meminta Yurike menjadi penjemput presiden ketika turun dari mobil kepresidenan. Ini jelas menyimpang dari kebiasaan acara protokoler yang umum disaksikannya pada masa itu.

Di lain pihak, peristiwa itu memberi bekas sangat dalam pada dirinya. "Dan, mata kami bertemu. Kurasa, hati kami juga bertemu. Kutangkap kemilau yang seolah menyimpan magnet tersebut. Sementara, tanpa sadar, aku melempar senyum lewat mataku. Biarpun hal itu cuma hadir selintasan, peristiwa yang amat menggetarkan itu lama sekali berlabuh teduh di lembah kenangan."

Isyarat perhatian khusus dan mendalam Bung Karno kian kentara pada masa-masa selanjutnya. Sampai suatu ketika, di tengah acara ramah-tamah presiden dengan pengurus Front Nasional di Istana Merdeka, ajudan Bung Karno meminta dia tidak pulang dulu usai acara. "Soalnya, Bapak yang mau mengantarkan pulang," katanya.

Percaya atau tidak percaya, ternyata begitulah adanya. Yurike duduk bersebelahan dengan Bung Karno di jok belakang sedan Lincoln itu. Perasaan kikuk menyelimuti dirinya selama perjalanan pulang. "Jok besar itu lebar sekali. Kurasa, untuk empat orang pun masih lega. Terbelenggu oleh sikap segan yang demikian besar, juga rasa malu yang sungguh tak teratasi, dudukku seolah menyatu dengan pintu."

Penampilan Bung Karno pada saat mengantarkannya pulang malam hari sekitar pukul 11 itu pun tidak biasa. Bercelana biru tua, kemeja lengan pendek biru muda, bersandal kulit hitam, dan tanpa peci. "Kepala yang biasa berpeci itu agak mengubah sedikit raut wajahnya. Dahinya tampak lebar sekali dan seolah menyambung dengan bagian tengah kepalanya yang botak."

Tanpa sungkan-sungkan pula, Yurike menuturkan bahwa penampilan yang lain dari biasanya itu sempat membuat ayah-ibunya terkecoh. Mereka menyangka, yang datang mengantar hanyalah kepala rumah tangga istana. Malah ayahnya sempat bersikap sinis dan agak kurang sopan ketika menyambut sang pengantar. Setelah tahu yang datang Bung Karno, suasana pun berubah sama sekali.


Bung Karno Menyatakan Cinta

Pada hari-hari berikutnya, seperti bisa ditebak, hubungannya dengan Bung Karno makin dekat. Sang presiden, dalam sebuah perjalanan diam-diam keliling kota pada malam hari, meminta Yurike memanggilnya "Mas", bukan "Pak". Kembali beragam perasaan berkecamuk dalam dirinya. Apalagi, dia sendiri punya pacar: Wisnu namanya.

"Sudah terbalikkah bumi ini? Sudah sedemikian kacaukah pendengaranku? Sudah tak berlakukah norma atau etika kepantasan yang menempatkan sikap hormat sebagai keharusan? Mustahil presiden yang usianya di atas ayahku minta dipanggil 'Mas' oleh seorang gadis SMA. Bagaiamanapun beraninya aku, lidahku pasti mendadak beku sebelum sepotong kata itu keluar dari tenggorokan."

Perjalanan diam-diam keliling kota yang diistilahkan Bung Karno sebagai perjalanan incognito itu semakin sering dilakukan. Hingga suatu malam, sebuah kejutan lain yang lebih besar dialami Yurike ketika diajak ke tepi pantai. Dimulai dari pertanyaan Bung Karno soal suami idaman Yurike, obrolan mereka makin menjurus ke soal pribadi. Akhirnya Bung Karno berujar dengan wajah serius: "Apa Adik tidak tahu Mas mencintai Adik?"

"Sepertinya langit runtuh. Kepala semakin berpendar-pendar bagai kejatuhan benda yang berat sekali. Mengingat sikap-sikapnya, pernyataan demikian memang bisa muncul sewaktu-waktu. Tetapi, tak urung, rasa kaget menerkamku," tulis Yurike mengungkapkan perasaannya ketika itu.

Lalu ia melanjutkan, "Tak pernah aku segemetar seperti saat itu. Raut wajah Ibu, Ayah, saudara, guru-guru di sekolah, kerabat, famili, orang-orang yang ada di sekitar Bung Karno, terakhir kekecewaan Wisnu, bergantian menghiasi pelupuk mata. Semula samar-samar, lalu menjadi jelas. Sejujurnya kuakui, rasa banggaku membukit. Pada detik-detik tersebut, aku merasa bukan anak gadis remaja, tapi sepenuhnya menjadi seorang perempuan yang menerima pernyataan cinta seorang lelaki."

Dan saat itu pun tiba, ketika Bung Karno menyatakan niatnya memperistri Yurike. "Kurenungi laut angan-angan sepuasnya. Pikiran terbang bebas sebebas-bebasnya, jauh meninggalkan apa yang selama ini tampak menakutkan. Gerak kehidupan baru menuju dunia kenyataan rasanya semakin dekat manakala Bung Karno, berselang tidak lama, menyatakan niatnya memperistriku. Bung Karno ingin tahu jawabanku saat itu juga. Tetapi, bagaimana mungkin? Masalah perkawinan tidak bisa kuputuskan sendiri. Aku minta waktu dengan suara tersendat untuk membicarakannya dengan orangtuaku."

Peristiwa Menjelang Pernikahan

Pernyataan Bung Karno soal keinginannya memperistri Yurike berulang di istana. Kejadiannya berlangsung beberapa hari setelah upacara pemancangan tiang pertama pembangunan Wisma Nusantara, Rabu 1 April 1964. Setelah acara yang diikutinya selesai, seorang ajudan memintanya menunggu di teras belakang istana karena "Bapak" ingin memberi kenang-kenangan.

Ternyata Presiden Soekarno menghadiahi Yurike sebuah kalung dari koleksinya yang berjajar di sebuah ruangan di istana. Malah lelaki itu sendiri yang memilihkannya untuk sang pujaan hati. Ini boleh saja dibaca sebagai lamaran tidak resmi sang presiden.

Lamaran resminya disampaikan Bung Karno kepada orangtua Yurike, beberapa waktu kemudian. Bung Karno rupanya mengatur hal itu sejak awal, karena beliaulah yang minta makan malam bersama dengan keluarga Yurike. "Selesai makan, tanpa disangka-sangka Bung Karno menyampaikan niatnya untuk memperistriku. Persisnya: Bung Karno melamar! Kubaca keterkejutan yang terpeta di wajah orangtuaku. Kurasakan luluh segenap sendi tulangku."

Orangtua Yurike jelas sangat terkejut. Ayahnya, tidak bisa lain, menyampaikan rasa terima kasih karena anaknya mendapat tempat istimewa di hati Bung Karno. Dia pun minta waktu untuk memberi jawaban. "Mohon kami diberi waktu untuk berunding, terutama dengan Yurike sendiri. Sebagai orangtuanya, kami tidak bisa membuat keputusan sepihak karena hal demikian akan kurang baik bagi kehidupannya nanti," demikian sang ayah menanggapi lamaran itu.

Yurike sendiri pada saat itu pun seperti didera kebimbangan berkepanjangan. "Aku hanyalah gadis yang baru dijemput ambang remaja. Di sekolah, aku tidak lebih hanya seorang murid yang masih tidak ingin terlambat datang untuk mengikuti jam pelajaran pertama, masih senang jajan es mambo pada jam istirahat. Lalu tiba-tiba saja seorang lelaki melamarku, dan dia justru seorang presiden yang selalu memiliki daya tarik luar biasa."

Ujungnya, lamaran Bung Karno itu diterima orangtua Yurike. Ini membawa suasana lain. Sejak Bung Karno tahu lamarannya diterima, napas kegembiraan sering terlontar dari kerjap matanya. "Alhamdulillah," serunya pertama kali. "Berkuranglah bebanku selama menunggu jawaban itu. Semoga Tuhan selalu memberkahi langkah kita dan memberi kebahagiaan terhadap kita," ucap Bung Karno.

Seiring dengan itu, perlakuan Bung Karno terhadap Yurike otomatis makin istimewa pula. Bung Karno, misalnya, tidak lagi membahasakan dirinya dengan sebutan "saya", tetapi "aku". Beliau juga tidak pernah luput meminta Yurike memanggil dirinya dengan sebutan "Mas" setiap kali perempuan itu keceplosan menyapa "Pak" atau "Bapak".

Dalam kaitan ini, Yurike juga tak menyembunyikan sedikit pun rasa kagumnya kepada Bung Karno. Ia menilai Bung Besar itu benar-benar seorang kekasih yang arif. Dia tahu persis kapan harus langsung ke titik urusan dan kapan diperlukan diplomasi agar tidak terkesan mendikte atau memaksakan diri.

Selain itu, "Bung Karno pandai menempatkan diriku pada tempat yang semestinya. Bung Karno benar-benar berusaha dengan penuh kesabaran menjadikan aku calon istrinya. Lambat laun, hal itu membawa perubahan amat berarti bagiku. Perasaan kami jadi semakin tidak berjarak. Aku bisa cepat menyesuaikan diri sehingga segala kekakuan yang merintangi sikapku cair dengan sendirinya."

Tapi, di balik hubungan yang makin dekat itu, Yurike harus menelan pil pahit. Suatu ketika, Bung Karno meminta dia berhenti bersekolah. Dan itu sungguh mengejutkan. Tapi, "Memang ini salahku sendiri. Aku mulai berani mengadu kepadanya seputar bisik-bisik yang berkembang di sekolah yang berkembang menjadi aneka komentar yang disampaikan secara terang-terangan."

Walhasil, keputusan yang diambil adalah keluar dari sekolah. Pada waktu itu, Yurike masih duduk di kelas II SMA. Ayahnya datang ke sekolah dan secara khusus bicara empat mata dengan kepala sekolah. Alasan keluar tentulah karena Yurike akan menikah dengan Bung Karno. Lelaki itu juga mewanti-wanti agar sang kepala sekolah merahasiakan hal itu.

Yurike sendiri mengungkapkan kegundahannya atas keputusan tersebut. "Sejak itu, aku kehilangan napas duniaku yang amat kukenali selama bertahun-tahun, bahkan sejak kelas I sekolah rakyat. Di satu sisi, aku bisa bebas sebebas-bebasnya dalam arti sudah tidak terbebani kewajiban, tapi kenyataannya malah terbalik: aku justru terpasung di tengah kebebasan atau terbelenggu di tengah pesona kenikmatan yang diberikan orang lain."

Yurike didera kesepian. Apalagi setelah frekuensi kegiatannya di Barisan Bhinneka Tunggal Ika makin dikurangi. Ia merasa, Bung Karno secara tidak langsung mengatur hal ini. "Kukatakan secara tidak langsung karena Bung Karno tidak pernah menanyakan mengapa aku tidak hadir di antara keanekaragaman pakaian daerah seperti waktu-waktu sebelumnya."

Hari yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Yurike yang sudah jenuh dengan hubungan lewat perjalanan incognito malam-malam hari ke pantai di kawasan Tanjung Priok itu makin mendapat kepastian. Pada Kamis 6 Agustus 1964, yang disebutnya hari termanis itu, Bung Karno resmi menikahinya secara Islam.

Ia pun mencatat saat-saat paling istimewa sepanjang hidupnya tersebut. "Sikapku serba-gugup. Waktu terasa merangkak lambat sekali. Detik demi detik, menit demi menit. Kucoba sekuat mungkin mempertenang diri, tapi sia-sia. Kucoba alihkan pikiran ke masalah lain, tapi percuma. Masih terbayang jelas kunjungan calon penghulu kami kemarin malam ke rumah. Maksudnya tidak lain, untuk melatihku agar upacara benar-benar dapat berlangsung khidmat dan lancar."

Tepat pukul 10.00, Bung Karno hadir dengan pengawalan yang jauh dari ketat. Tidak terkesan sama sekali bahwa beliau adalah presiden yang bergelar Panglima Tertinggi ABRI sekaligus Pemimpin Besar Revolusi. Pakaiannya sederhana sekali. Kemeja biru muda lengan pendek, celana biru tua, sepatu hitam, dan peci hitam ciri khasnya dirasakan Yurike benar-benar mempercerah penampilan lelaki itu. "Acara yang paling penting dalam sejarah hidupku dimulai," tulis dia.


Duka Istri Presiden

Ternyata menjadi istri orang nomor satu di suatu negeri tidak selamanya enak. Kesepian yang menerpa dirinya bukannya berkurang. Makin lama, makin terasa menyesakkan. "Hari demi hari bergulir sesuai dengan kehendak sang waktu. Kadang kurasakan hari merangkak lambat manakala kami tidak saling bertemu. Kadangkala bagai sekejap manakala napas kerinduan harus runtuh oleh arus perpisahan yang menerjang," tulis dia meluapkan perasaan itu.

Selama beberapa waktu, Yurike masih tinggal bersama orangtuanya sampai Bung Karno memberinya sebuah rumah di kawasan Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Rumah itu diakui Bung Karno sebagai rumah sitaan kejaksaan milik seorang manipulator yang jadi buronan. Kesepian ternyata kian meradang berada di rumah besar itu. Apalagi, ia tidak bisa bebas keluar-masuk halaman yang dikelilingi pagar tertutup cukup tinggi.

Untuk mengusir rasa sepi, Yurike mengaku kerap melampiaskannya dengan berbagai cara. Salah satunya, menghabiskan waktu bergurau dengan para pengawal. "Dasar masih remaja, aku mengajak para pengawal bermain perang-perangan. Aku dan salah seorang adikku berada dalam satu kelompok, mereka dalam kelompok pihak lawan. Mereka dengan sabar mengikuti kemauanku." Terkadang, ia juga menghabiskan waktu dengan ikut main gaple bersama para pengawal.

Tapi hal yang paling mengagetkan dirasakannya adalah pada saat-saat Bung Karno terbakar api cemburu. Ini dialami Yurike ketika menjalani perawatan selama tiga pekan di Rumah Sakit Husada karena mengalami hamil di luar kandungan. Ia harus menjalani operasi untuk mengangkat janin itu. Ketika masuk rumah sakit hingga beberapa lama dirawat, kebetulan Bung Karno sedang bermuhibah ke luar negeri.

Ceritanya, selama dirawat, ada seorang dokter yang memberi perhatian khusus dan istimewa kepada Yurike. Dokter muda itu kerap menjenguknya sembari membawa buah atau yang lain. Terakhir, dokter muda bernama Arifin itu membawakan televisi dan majalah asing agar Yurike dapat mengusir rasa jemunya. Majalah asing itu juga cukup kontroversial: melaporkan pertemuan mesra Bung Karno dengan bintang seksi asal Italia, Gina Lolobrigida.

Begitu Bung Karno tahu, ia tampak sangat murka. Lucunya lagi, ulah si dokter itu dihubung-hubungkan dengan antek neokolonialisme (nekolim). Dengan suara lantang menggeledek, dia memerintahkan pengawalnya membuang semua itu. Bahkan, sebagai buntut kecemburuannya, Bung Karno konon menyuruh tim khusus memanggil dokter itu ke istana dan memeriksanya.

"Kesimpulan yang kudengar, sejauh tentang statusku sebagai istri Bung Karno, dia sama sekali tidak mengetahuinya. Dia juga tidak terbukti ditunggangi nekolim --sebagaimana kecurigaan Bung Karno. Alhasil, tidak ada alasan untuk menahannya. Kendati demikian, tugasnya secara mendadak dipindahkan ke rumah sakit lain, hari itu juga."


Saat-saat Terakhir

Langit tidak selamanya cerah. Ada saat-saat gumpalan awan hitam bergulung-gulung, bahkan tanpa celah sinar barang sejengkal. Keadaan bersih juga tak selamanya tergambar di langit karena tiba-tiba bisa keruh, menakutkan, kadangkala diwarnai suara petir yang menggelegar seolah sanggup merobek bumi. Demikian pula cerminan kehidupan Bung Karno.

Suatu hari, Bung Karno datang tanpa memberi kabar lebih dulu. Pada saat itu, Yurike mestinya merasa senang dan menerima sang suami dengan hati berbunga-bunga. Tapi tidak pada hari itu. Kehadiran tersebut merupakan sebuah kabar buruk. Dia datang naik jip yang dikawal beberapa anggota polisi militer. Wajahnya datar, jauh dari ungkapan kegembiraan.

Itulah yang terjadi beberapa waktu setelah Soeharto dilantik menjadi penjabat presiden, persis pada 12 Maret 1967. Negara membutuhkan istana karena penjabat presiden akan melaksanakan tugas kenegaraannya dari tempat itu. Tidak ada jalan lain, Bung Karno harus angkat kaki dari istana yang telah dihuninya selama bertahun-tahun.

Meredupnya kekuasaan Bung Karno ikut mempengaruhi kehidupan yang dijalani Yurike. Tahun 1968 menjadi tahun yang dianggapnya paling memprihatinkan. Kondisi keuangannya kian tidak menentu. Tambahan lagi, kini tidak ada lagi aliran dana kerumahtanggaan presiden untuk menggaji para pembantu yang jumlah totalnya ada 20-an orang.

Efek yang lebih menyesakkan, sudahlah Bung Karno hidup dalam isolasi di Wisma Yaso, Jakarta Selatan, Yurike pun harus angkat kaki dari rumah di Cipinang Cempedak. Berkali-kali pihak kejaksaan meminta dia mengosongkan bekas rumah pengusaha buronan bernama King Gwan itu, berkali-kali pula ia menolak. Ia baru angkat kaki setelah menerima pesan singkat Bung Karno yang ditulis di atas kertas bungkus rokok. "Dik, lebih baik tinggalkan rumah itu, toh bukan milik kita."

Yang lebih menyesakkan, Bung Karno bahkan menyarankan agar Yurike mengajukan permintaan cerai. Ini mengguratkan suasana haru yang menyelimutinya pada saat itu. "Aku sedih. Betul-betul sedih. Tidak kubayangkan perkataan itu keluar dari bibir Bung Karno," katanya.

Menurut Bung Karno, situasi politik dalam negeri dan kondisi kesehatannya yang memburuk bisa berefek kurang baik bagi kehidupan Yurike selanjutnya secara lahir-batin. Awalnya ia menolak, dengan menegaskan hanya ingin hidup selamanya dengan Bung Karno. "Saya tidak minta apa-apa lagi. Mata Bung Karno berkaca-kaca. Hatiku pun menangis sejadinya," tulis dia.

Akhirnya, Yurike memang bercerai dari Bung Karno secara baik-baik. Peristiwa yang sungguh mengharukan karena mereka masih sama-sama saling mencintai. Sebuah perpisahan yang justru terjadi ketika mereka tengah dekat dan sangat rapat.

Tapi, di atas segala kepedihan itu, yang paling menyesakkan tentulah ketika ia mendengar kabar wafatnya "sang penyambung lidah rakyat Indonesia" itu pada 21 Juni 1970. "Kata orang, aku tidak sekadar meratap, tetapi histeris. Aku tidak peduli. Berkali-kali kupanggil namanya hingga suaraku tak terdengar lagi....". Sekian.

0 Comments: